PENDAHULUAN
- 1. Latar belakang
Teologi islam sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam pelajaran yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang- ambing oleh peradaban zaman.
Teologi dalam Islam juga disebut ’ilmu al-tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau esa dan keesaan dalam pandangan Islam, sebagai agama monotheisme. Merupakan sifat yang penting diantara segala sifat-sifat Tuhan. Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang bersifat liberal, tradisional dan ada pula yang mempunyai sifat antara liberal dan tradisinal. Liberal dan tradisional tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam.
Teologi dalam Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu tauhid. Dan ilmu tauhid yang diajarkan dan dikenal di Indonesia pada umumnya adalah ilmu tauhid.
- 2. Rumusan masalah
- Apa definisi dari mu’tazilah?
- Bagaimana asal-usul penyebutan nama mu’tazilah?
- Siapa sajakah tokoh-tokoh dari aliran mu’tazilah?
- Apa saja Pokok-pokok Ajaran Aliran Mu’tazilah?
- Bagaimanakah Pandangan Aliran Mu’tazilah?
- Bagaimana Filsafat Aliran Mu’tazilah?
- 3. Tujuan
- Agar mahasiswa mengatahui definisi dari mu’tazilah.
- Agar mahasiswa mengetahui asal-usul penyebutan mu’tazilah.
- Agar mahasiswa mengetahui para tokoh-tokoh dari aliran mu’tazilah.
- Agar mahasiswa mengetahui pokok-pokok ajaran mu’tazilah.
- · Agar mahasiswa mengetahui pandangan-pandangan aliran mu’tazilah.
- Agar mahasiswa mengetahui filsafat-filsafat aliran mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN MU’TAZILAH
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya Khawarij dan Syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir. Satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis Kristen dan Yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran Mu’tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Aqlaniyah. Modernisasi pemikiran, Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan.
- A. Pengertian Mu’tzilah
Mu’tazilah secara etimologi bermakna orang-orang yang memisahkan diri. Sedangkan secara terminologi Mu’tazilah adalah sebuah firqoh Islamiyah (aliran dalam Islam) yang muncul pada akhir Dinasti Umayyah dan mulai tumbuh pesat pada permulaan Dinasti Abbasiyah. Dengan adanya filsafat-filsafat import (filsafat Yunani dalam diskursus dzat dan sifat, filsafat Hindu, dan aqidah Yahudi dan Nasrani), mereka terpengaruh ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah ahlu sunnah wal jama’ah ini, dan mereka berpegang pada kekuatan rasionalitas dalam memahami aqidah Islam.
Sedangkan sebagian ulama, mendefinisakan sebagai suatu kelompok dari Qadariyah yang berbeda pendapat dengan umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil Atha’ dan Umar bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashri.
- B. Asal–Usul Penyebutan Nama Mu’tazilah
Menurut Al-Baghdadi paham ini mula-mula timbul ialah semenjak adanya perselisihan pendapat antara Washil bin Atha’ dengan gurunya Syekh Hasan Bashri, seorang tabi’in di Basrah (wafat 110 H), mereka berselisih tentang orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan tidak tobat sebelum mati. Menurut Imam Hasan Bashri, jika seorang mukmin melakukan dosa besar seperti membunuh dia tidak menjadi kafir dengan perbuatannya, ia tetap mukmin tetapi mukmin yang durhaka dan jika dia meninggal sebelum taubat, dia di hukum dalam neraka beberapa waktu kemudian dimasukkan ke surga setelah selesai menjalani hukumannya. Sedangkan menurut Washil bin Atha’ (tokoh kaum mu’tazilah), orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan meninggal sebelum taubat tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir tetapi diantara kafir dan mukmin. Dia dimasukkan neraka untuk selamanya seperti orang kafir tetapi hukumannya diringankan tidak sepanas neraka orang kafir pada umumnya. Dan inilah nantinya yang disebut dengan Manzilah bainal Manzilatain atau tempat diantara dua tempat.
Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke Masjid Basrah dan menuju ke Majelis Hasan al-Basri. Setelah ternyata baginya bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “ini kaum Mu’tazilah.” Semenjak itu, kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.
Al-mas’udi memberikan pendapat lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian antara paham Wasil dan Amr dari satu pihak dan Hasan al- Basri dari pihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi tersebut (al-manzilah bain al-manzilatain) membuat orang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.
Di samping keterangan-keterangan klasik ini ada teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin. Nama Mu’tazilah sudah ada sebelum peristiwa Wasil dan Hasan al- Basri, dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Kalau itu dipakai sebagai designatie terdapat golongan-golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di zaman ‘Usman ibn Affan dan ‘Ali ibn Abi Talib. Mereka menjauhkan diri dari golongan yang saling bertikai. Golongan yang menjauhkan diri ini memang dijumpai dalam buku-buku sejarah. Al-Tabari umpamanya menyebut bahwa sewaktu Qais ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai gubernur dari Ali Ibn Abi Talib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan turut padanya dan satu golongan menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila kharbita). Dalam suratnya kepada kholifah , Qais menamai mereka ”Mu’tazilin” kalau al-Tabari menyebut nama “Mu’tazilin”, Abu al-Fida memakai kata “al-Mu’tazilah” sendiri.
Jadi kata “i’tazala” dan “Mu’tazilah” sudah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum peristiawa Wasil dan Hasan al-Basri.
Dengan demikian golongan Mu’tazilah pertama ini mempunyai corak politik. Dan dlam pendapat Ahmad Ahmin, Mu’tazilah kedua yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil ,juga mempunyai corak politik karena mereka sebagai kaum Khawarij dan kaum Murji’ah. Karena mereka juga membahas praktek-praktek politik Usman, Ali, Mu’awiah dan sebagainya. Perbedaan Mu’tazilah kedua menambah persoalan teologi dan filsafat dalam ajaran mereka.
C.A. Nallino, seorang Orientalis mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin berdasarkan versi Mas’udi tersebut sebelumnya, bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya tidak mempunyai arti “memisahkan diri dari umat Islam lainnya”. Sebagai mana dalam versi yang diberikan al-Syahrastani, al- Bahdadi dan Tasy Kubra Zadah . Tetapi sebaliknya, nama itu diberikan pada mereka menurut versi Mas’udi , merupakan golongan yang berdiri netral di antara Khawarij yang memandang Usman, Ali, Mu’awiah dan orang berdosa besar lainnya kafir, dan Murji’ah yang memandang mereka tetap mukmin. Keduanya mempunyai hubungan erat dengan Mu’tazilah pertama.
Tetapi teori ini dibantah oleh Ali Sami al- Nasysyah dengan mengemukakan argumen bahwa ada khalifah-khalifah Bani Umayyah yang menganut ajaran Mu’tazilah. Bani umayyah termasuk salah satu golongan yang bertentangan dengan kaum Khawarij dan kaum Mu’tazilah memandangnya sebagai orang yang bedosa yang akan kekal di neraka.
Al-Nasysyar selanjutnya berpendapat bahwa nama Mu’tazilah betul timbul dalam lapangan pertentangan-pertentangan politik Islam terutama antara Ali dan Mu’awiah tetapi nama itu tidak dipakai untuk satu golongan tertentu. Argumentasi yang dimajukan oleh al-Nasysyar ialah bahwa kata-kata i’tazala dan al- Mu’tazilah terkadang dipakai untuk orang yang menjauhi peperangan ,orang yang menjauhkan diri dari Ali dan sebagainya. Pada hakikatnya mereka menjauhkan diri dari masyarakat umum dan memusatkan pada ilmu pengetahuan dan ibadat. Diantara orang-orang ini terdapat dua orang dari cucu nabi, yaitu Abu Hasim Abdullah dan al-Hasan Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiah . dan Wasil punya hubungan erat dengan Abu Hasyim. Jadi menurut al-Nasysyar, golongan Mu’tazilah kedua timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu’tazilah yang dikatakan aliran Politik.
Untuk mengetahui asal-usul Mu’tazilah itu dengan sebenar-benarnya memang sulit. Berbagai pendapat diajukan oleh ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat dari mereka. Yang jelas adalah bahwa nama Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam timbul peristiwa Wasil dan Hasan al-Basri di Basra dan bahwa lama sebelum peristiwa tersebut telah pula terdapat kata i’tazala, al-Mu’tazilah. tetapi apa hubungannya antara Mu’tazilah pertama dengan kedua, fakta-fakta yang ada belum dapat memberi kepastian. Selanjutnya sapa yang memberi nama Mu’tazilah kepada Wasil dan pengikutnya-pengikutnya tidaklah jelas. Ada yang mengatakan golongan lawanlah yang memberikan nama itu kepada mereka.tetapi jika kembali kepada ucapan-ucapan kaum Mu’tazilah, maka akan kita temui bahwa mereka sendirilah yang memberi nama itu kepada golongan mereka. Al-Qadi’ Abd al-Jabbar, umpamanya mengatakan bahwa kata i’tazala yang terdapat dalam al-Qur’an mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar, dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian. Selanjutnya ia menerangkan adanya hadist nabi, bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang paling baik dan patuh adalah Mu’tazilah. Bahkan menurut Ibn al-Murtada kaum Mu’tazilah sendirilah yang memberi nama kepada golongannya dan bukan orang lain.
- C. Asal–Usul Munculnya Aliran Mu’tazilah
Secara teknis, Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:
- Golongan pertama disebut Mu’tazilah I muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubeir dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali. Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah.
- Golongan kedua disebut Mu’tazilah II muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
- D. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah
Secara geografis aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua aliran yaitu Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Bagdad. Aliran Mu’tazilah Basrah lebih dahulu munculnya dibandingkan denga aliran Mu’tazilah Bagdad. Perbedaan tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan kultural dimana kota Basrah lebih dahulu didirikan dan juga lebih dahulu mengenal perpaduan aneka ragam kebudayaan dan agama.
Menurut Ahmad Amin pebedaan kedua aliran tersebut karena aliran Mu’tazilah Bagdad banyak dipengaruhi filsafat yunani, disebabkan adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat. Disamping itu istanah khalifah Abbasiyah di Bagdad dijadikan tempat pertemuan ulama-ulama Islam dengan ahli pikir golongan lain. Aliran Basrah lebih banyak menekankan pada segi teori dan keilmuannya, sedangkan aliran Bagdad menekankan pada segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan khalifah-khalifah.
Tokoh-tokoh aliran basrah antara lain Wasil bin ’Ata, al ’Allaf, an Nazzham dan al Jubai. Tokoh aliran Bagdad antara lain Basyr bin al Mu’tamir, al Khayat. Kemudian pada masa berikutnya lagi ialah al Qadhi Abdul Jabar dan az Zamachsyari. Uraian berikut ini berdasarkan urutan geografis dan kronologis.
1. Wasil bin ’Ata (80-131 H/699-748 M)
Nama lengkapnya Wasil bin ’Ata al Ghazali. Ia terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah dan menjadi pimpinan/kepala yang pertama. Ia pula terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip aliran Mu’tazilah.
Ajaran pertama yang dibawa Wasil tentulah paham al-manzilah bain al-manzilatain, posisi di antara dua posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi fasiq yang menduduki posisi diantara posisi mukmin dan posisi kafir. Kata mukmin dalam pendapat Wasil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada fasiq, dengan dosa besarnya.
Ajaran yang kedua adalah paham Qadariah yang dianjurkan oleh ma’bad dan ghailan. Tuhan, kata Wasil bersifat bijaksana dan adil. Dengan demikian manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan dan tidak kepatuhannya kepada tuhan. Atas perbuatan-perbuatan ini, manusia memperoleh balasan. Wasil kelihatannya memperoleh paham ini dari Ghailan melalui Abu Hasyim ’Abdullah Ibn Muhammad al-Hanafiah. Bahkan menurut al-Nasysyar ada kemungkinan bahwa Wasil pernah berjumpa dengan Ghailan sendiri.
Ajaran yang ketiga adalah mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri diluar zat. Ajaran ini, sebagai dikatakan al-Syahrastani, belum matang dalam pemikiran Wasil, tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikut-pengikutnya, setelah mereka mempelajari filsafat yunani.
Paham peniadan sifat ini kelihatannya berasal dari jahm, karena jahm menurut al-Syahrastani, berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada pada manusia tak dapat diberikan kepada Tuhan, karena itu akan membawa kepada anthoropomorphism yang disebut dalam istilah arab al-tajassum atau al-tasybih. Tetapi, berlainan dengan kaum Mu’tazilah, jahm masih bisa memberi sifat berkuasa, berbuat dan mencipta pada Tuhan. Sebagai seseorang yang menganut paham jabariah atau fatalisme, jahm melihat bahwa hanya Tuhan yang berkuasa, berbuat dan mencipta. Manusia tak mempunyai daya apa-apa.
Menurut al-Malatti, Wasil mempunyai dua murid penting yang masing-masing bernama Bisyr Ibn Sa’id dan Abu Usman al-Za’farani. Dari kedua murid inilah dua pemimpin lainnya, Abu al-Huzail al-Allaf dan Bisyr Ibn mu’tamar menerima ajaran-ajaran Wasil. Bisyr sendiri kemudian menjadi pemimpin Mu’tazilah cabang Baghdad.
2. Al ’Allaf
Nama lengakpnya adalah Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail al ’Allaf. Sebutan al’Allaf di peroloehnya karena rumahnya terletak di kampung penjual makanan binatang (’alaf – makanan binatang). Ia lahir tahun 135 H dan wafat di tahun 235 H dan banyak berhubungan dengan filsafat yunani. Ia guru pada Utsman at-Tawil, murid Wasil. Puncak kebesarannya dicapainya pada masa al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama dan aliran-aliran pada masanya. Hidupnya penuh dengan perdebatan dengan orang zindiq (orang yang pura-pura islam),skeptis, majusi, zoroaster, dan menurut riwayat ada 3000 orang yang masuk Islam di tangannya. Ia banyak membaca buku-buku dan banyak hafalannya terhadap syair-syair arab. Ia banyak berhubungan dengan filosof-filosof dan buku-buku filsafat.
An-Nazham mengatakan tentang dirinya, bahwa ketika dia tinggal di kuffah, ia mempelajari buku-buku filsafat. Setelah datang di Basra, ia mengira bahwa dirinya lebih tahu tentang kata-kata filsafat yang pelik daripada al-Allaf. Akan tetapi setelah berhadapan dengan dia, ia baru tahu bahwa perkiraannya itu salah. Karena ternyata al-Allaf lebih pandai dan terbayang olehnya seolah-olah pekerjaan al-Allaf hanya pada bidang filsafat saja. Jadi, pertaliannya dengan filsafat itulah yang menyebabkan dia sanggup mengatur dan menyusun ajaran-ajaran Mu’tazillah dan membuka pembahasan baru yang belum pernah dimasuki orang sebelumnya.
Abu al-huzail berpendapat bahwa manusia dengan mempergunakan akalnya dapat dan wajib mengetahui Tuhan. Oleh karena itu, kalau manusia lalai dalam mengetahui Tuhan, ia wajib di beri ganjaran. Manusia juga mengetahui yang baik dan yang buruk,oleh karena itu dia wajib mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti bersikap adil dan berkata benar, dan wajib menjauhi perbuatan-perbuatan buruk seperti berdusta dan bersikap zalim.
Tuhan menciptakan manusia bukan karena ia berhajad pada mereka, tetapi karena hikmah lain. Dan Tuhan tidak menghendaki hal-hal yang bermanfaat bagi manusia. Dari sini timbullah satu ajaran lain yang penting dalam aliran Mu’tazilah yaitu paham al-salah wa al-aslah, dalam arti Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan manusia. Tuhan sebenarnya dapat betindak zalim dan berdusta terhadap manusia, tetapi mustahil Tuhan berbuat demikian. Perbuatan demikian berarti mengandung arti tidak baik, dan Tuhan sebagai zat yang maha sempurna tidak bisa berbuat yang tidak baik. Perbuatan-Nya semuanya wajib bersifat baik.
3. An-Nazzham(wafat 231 H/485 M)
Nama lengkapnya adalah Ibrahim Bin Sayyar Bin Hani An-Nazzham, tokoh mu’tazillah yang terkemuka,lancar bicara, banyak mendalami filsafat dan banyak pula karyanya. Ketika kecil ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan islam, dan sesudah dewasa ia banyak berhubungan dengan filosof-filosof yang hidup pada masanya serta banyak mengambil pendapat-pendapat yang di kemukakan oleh mereka.
Ia berguru pada Abu Huzail al-Allaf, kemudian mengadakan aliran sendiri, pada usianya ke-36 tahun ia meninggal dunia An-Nazzham mempunyai kekuatan otak yang luar biasa, dimana beberapa pemikirannya telah mendahului masanya antara lain tentang metode keraguan (methodeof doubt) dan emperika (percobaan-percobaan) yang menjadi dasar kebangunan baru (renaissance) di eropa
Orang awam lebih sedit keraguannya dibanding dengan orang-orang pandai, karena orang awam tidak pernah meragukan dirinya. Apa yang ada pada mereka hanya keberanian kepercayaan (asal percaya) semata-mata atau keberanian mendustakan semata-mata, serta meniadakan keadaan yang ketiga yaitu keraguan-keraguan.
Percobaan yang dilakukan oleh an-Nazzham tidak banyak bedanya dengan penyelidikan dari orang ahli ilmu alam atau kimia, ia pernah meminumkan tusk (khamr) kepada bermacam-macam hewan untuk mengetahui pengaruh (reaksi minuman keras itu).
Karena ia sangat bebas berpikir, ia berani menyerang ahli hadis dan tidak banyak percaya kepada keshahian hadits-hadits. Ia sangat menjunjung Al Qur’an dan sedikit percaya kepada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para mufassirin.
An-Nazzham berpendapat bahwa Tuhan tidak bisa dan tidak sanggup berbuat yang tidak baik, dan seterusanya wajib bagi Tuhan untuk berbuat hanya yang baik bagi manusia yaitu apa yang disebut dalam istilah Mu’tazilah al-salah wa al-aslah, sehingga ia berpendapat bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk mengeluarkan orang yang telah menjadi ahli surga dari surga dan memasukkan orang yang bukan ahli neraka kedalam neraka, dan tuhan tak berkuasa untuk mengurangi kesenangan ahli surga atau menambah siksaan ahli neraka.
Sebagai dikatakan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al Qur’an yang dalam istilah teologi disebut kalam Allah, bukan qadim atau kekal, tetapi hadits dalam arti baru diciptakan Tuhan. Al nazam memberi penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kalam atau sabda Tuhan. Kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Suara bersifat baru bukan bersifat kekal dan adalah ciptaan Tuhan.
Seorang pemimpin Mu’tazilah lain ialah Mu’ammar Ibn Abbad yang hidup semasa dengan Abu al-Huzail dan al-Nazzham, menurut pendapatnya yang diciptakan Tuhan hanyalah benda-benda materi, adapun al-a’ rad aua accidents adalah kreasi benda-benda materi itu sendiri dalam bentuk natur.
4. Al-Jubbai (wafat 303 H/915 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali al-Jubbai, tokoh Mu’tazilah Basrah dan murid dari as-Syahham (wafat 267 H/885 M), tokoh mu’tazilah juga. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Abu hasyim al-Jubbai, mencerminkan akhir masa kejayaan aliran mu’tazilah.
Sebutan AL-Jubbai diambil dari suatu tempat, yaitu Jubba di propinsi Chuzestan-iran yang merupakan tempat kelahirannya.
Al- Jubbai adalah guru imam al-Asy’ari, tokoh utama aliran ahlussunnah. Ia membantah buku karangan Ibnu Ar-Rawandi, yang menyerang aliran Mu’tazilah dan juga membalas serangan iman al-Asy’ari ketika yang terakhir ini keluar dari barisan Mu’tazilah. Akan tetapi pikiran-pikiran dan tafsiran-tafsirannya terhadap Al Qur’an tidak sampai pada kita. Menurut dugaan, pikiran itu banyak diambil oleh az-Zamakhsyari.
Antara lain al-Jubbai dan anaknya Abu Hasyim sering dikelirukan orang, karena anaknya tersebut juga menjadi tokoh Mu’tazilah dan alirannya terkenal dengan nama ”Bah syamian”. Aliran ini banyak tersebar di rai dan sekitarnya (iran), karena dapat dukungan dari Sahib bin ’Abad, menteri kerajaan Bani Buwaihi.
Al-ubbai dan anaknya berpendapat bahwa yang disebut kalam atau sabda Tuhan tersusun dari huruf dan suara. Tuhan disebut Mutakallim dalam arti menciptakan kalam . Mutakallim tidak mengandung arti sesuatu tersusun yang berbicara. Mereka juga berpendapat bahwa Tuhan tak akan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya di akhirat. Mengetahui Tuhan serta bersyukur kepada-Nya dan mengetahui perbuatan baik dan perbutan buruk adalah wajib bagi manusia dalam arti kewajiban-kewajiban yang di paksakan oleh akal (wajibat ’aqliah). Oleh sebab itu mereka mengakui adanya apa yang disebut ajaran-ajaran akal (syari’ah ’aqliah).
Ajaran-ajaran yang dibawa Nabi-nabi (syari’ah Nabawiah) perlu untuk mengenal besarnya balasan dan hukuman terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Akal manusia hanya dapat mengetahui bahwa orang patuh pada Tuhan akan mendapat upah dan bahwa orang yang melawan Tuhan akan memperoleh hukuman. Tetapi berapa besarnya upah atau hukuman itu diketahui manusia hanya melalui wahyu.
Mengenai peniadaa sifat Tuhan, al-Jubbai berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya. Dengan demikian Tuhan mengetahui tidak perlu pada sifat mengetahui dan pula tidak pada keadaan mengetahui. Adapun bagi anaknya Abu Hasyim, Tuhan mengetahui melalui keadaan mengetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat tetapi hal (satate).
5. Basyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)
Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah di Bagdad. Pandangan-pandangannya mengenai kesusasteraan sebagaimana yang banyak dikutip al-Jahiz dalam bukunya al-Bayan wat-Tabyin, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang pertama-tama mengatakan ilmu balaghah.
Beberapa pendapat tentang paham ke-Mu’tazilahan hanya sedikit saja yang sapai kepada kita. Ia adalah orang yang pertama-tama mengemukakan soal ”tawallud” (reproduction) yang boleh juga dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya
Di antara murid-muridnya yang besar pengaruhnya dalam penyebaran paham-paham ke-Mu’tazilahan di bagdad ialah Abu Musa al Mudar, Tsumamah bin al-Asyras dan Ahmad bin Abi fu’ad.
Menurut al-Syahrastani ia dengan kuat mempertahankan pendapat bahwa Al Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi diciptakan Tuhan dan memandang orang yang mengatakan Al Qur’an qadim menjadai kafir, karena dendan demikian orang serupa itu telah membuat yang bersifat qadim menjad dua. Dengan kata lain, orang yang demikian menurut al-Murdar telah menduakan Tuhan. Selanjutnya ia juga berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukanah diciptakan Tuhan tetapi diwujudkan oleh manusia sendiri. Ia juga mengatakan bahwa Tuhan tak dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya.
6. Al-Chayyat (wafat 300 H/912 M)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Husein al-Khayyat, dia termasuk tokoh Mu’tazilah bagdad, dia juga pengarang buku “al-Intisar” yang dimaksudkan untuk membela aliran mu’tazilah dari serangan ibn ar Rawandi. Ia hidup pada masa kemunduran arilran Mu’tazilah.
Ia dan Sumamah Ibn Asyras (w. 213 H) berpendapat bahwa daya berbuat bagi manusia terdapat dalam tubuh manusia sendiri yaitu tubuh yang baik dan sehat lagi tidak mempunyai cacat. Ia juga berpendapat bahwa nanusia melalui akalnya, berkewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui perbuatan baik serta perbuatan buruk sebelum wahyu turun.
Al-Khayyat mengatakan bahwa kehendak bukanlah sifat yang melekat pada zat Tuhan dan Tuhan berkehendak bukan melalui zat-Nya. Jika Tuhan berkehendak berarti ia mengetahui, berkuasa dan tidak dipaksa melakukan perbuatan-perbuatan-Nya, itu berarti bahwa ia menciptakan perbuatan-perbuatan sesuai dengan pengetahuan-Nya. Tuhan menghendaki perubuatan-perbuatan hamba-Nya berarti tuhan memerintahkan supaya perbuatan-perbuatan itu dilakukan. Tuhan maha mendengar berarti Tuhan mengetahui apa yang didengar, demikian pula Tuhan melihat apa yang dapat dilihat. Inilah interprestasi al-Khayyat tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan.
7. Al-Qadhi Abdul Jabar (wafat 1024 M di Ray)
Ia juga hidup pada masa kemunduran aliran mu’tazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim (qadhi al-qudhat) oleh Ibnu Abad. Diantara karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokok-pokok ajaran aliran Mu’tazilah yang terdiri dari beberapa jilid dan banyak dikutip oleh as-Syarif al Murtadha. Buku tersebut sedang dalam penerbitan di Kairo dengan nama ”al-Mughni”.
8. Az-Zamaihsyari (467-538 H/1075-1144 M)
Nama lengkapnya adalah Jar Allah Abdul Qasim Muhammad bin Umar kelahiran Zamachsyar, sebuah dusun di negeri Chawarazm (sebelah selatan lautan Qazwen), iran sebutan ”Jarullah” yang berarti tetangga Allah, dipakainya karena ia lama tinggal di Makkah dan bertemapat di sebuah rumah dekat ka’bah. Selama hidupnya ia banyak mengadakan perjalanan dari negeri kelahirannya menuju Bagdad, kemudian ke Makkah untuk bertempat disana bebeapa tahun lamanya dan akhirnya ke Jurjan (Persi-Iran) dan di sana ia menghembuskan nafas terakhir.
Pada diri az-Zamaihsyari terkumpul karya aliran Mu’tazilah selama kurang lebih empat abad. Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu (grammatika) paranatasastra (lexicologi).
Ia dengan terang-terangan menonjolkan paham ke Mu’tazilahannya dan dituliskan dalam bukunya serta dikemukakannya dalam pertemuan-pertemuan keilmuan. Dalam tafsirnya ”al Kassyaf” ia telah berusaha sekuatnya untuk menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan ajaran-ajaran Mu’tazlah terutama lima prinsip yaitu Janji dan Ancaman, Tempat diantara dua tempat dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.
Disamping segi ke Mu’tazilahannya al-Kassyaf menunjukkan kekuatan pengarangnya dalam segi bahasa, balaghah, ilmu stylistika (ilmu uslub) dan kemu’jizatan Al Qur’an, sehingga golngan musafirin banyak menggunakan dan tidak bisa melepaskannya sampai sekarang.
Ibnu Munir, hakim kota Iskandariah (wafat 787 H) menyusun sebuah buku untuk menunjukkan pikiran-pikiran kemu’tazilahan dalam al-Kassyaf, dengan dibantahnya pula, kmudian memberikan tafsiran menurut paham ahlussunnah terhadap ayat-ayat yang telah ditafsirkan menurut paham kemu’tazilahan oleh az-Zamachsyari. Namun bagaimanapun juga, dikalangan aliran Mu’tazilah az-Zamachsyari merupakan tokoh yang sukar dicari tandingannya.
- E. Ajaran-Ajaran Pokok Mu’tazilah (al-Ushul al-Khamsah)
- 1. Al- Tauhid
Al- Tauhid atau ke-maha Esaan Tuhan merupakan ajaran dasar yang terpenting bagi aliran Mu’tazilah. Tuhan bagi mereka, baru dapat di katakan benar-benar Maha Esa, kalau Ia merupakan suatu Zat yang unik dan tidak ada yang dapat menyerupai-Nya. Karena itu dalam mentauhidkan Tuhan, aliran Mu’tazilah menentang cara-cara anthropo-morphisme, yaitu suatu paham yang membayangkan Tuhan sebagai yang mempunyai jisim sebagaimana manusia biasa, seperti bertangan, punya muka, dan sebagainya. Untuk menghindari paham ini, mu’tazilah melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran yang zanni seperti yadullah (tangan Allah), kalamullah (perkataan Allah) dan sebagainya itu dengan cara metaphora atau kiasan. Tangan Allah mereka artikan kekuasaan Allah, sedangkan wajah Allah mereka artikan keridhaan-Nya dan seterusnya.
Selanjutnya Mu’tazilah menolak paham beatific vision, yaitu paham yang menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di Akhirat nanti. Mu’tazilah tidak menerima paham ini, karena menurutnya Tuhan bersifat immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi yang immateri hanya dapat dilihat oleh immateri pula. Oleh karena itu Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan hanya dapat dilihat dengan mata hati.
Mu’tazilah juga berpendapat bahwa zat Allah bersifat qadim, paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Allah dalam arti mempunyai wujud tersendiri dan terpisah dari zat-Nya. Apa yang golongan lain menyebutkan bahwa sifat Tuhan seperti Maha Mengetahui oleh golongan Mu’tazilah disebut sebagai essensi Tuhan. Dengan demikian paham tersebut tidak membawa kepada timbulnya paham qadim, karena banyak paham qadim itu membawa ke syirik.
Paham ke-Esa-an Tuhan yang dikemukakan kaum mutazilah dimaksudkan untuk memurnikan zat Tuhan dari persamaan makhluk-Nya. Dalam paham ini terlihat betapa kuatnya pengaruh akal dalam pikiran yang dibangunnya itu. Dan ini dapat dijadikan satu indikasi bahwa aliran Mu’tazilah pantas disebut sebagai rasional.
- 2. Al- ‘Adl
Paham keadilan yang dikehendaki oleh Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan qudrat yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu, Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendaki-Nya, Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintah-Nya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya.
Selanjutnya masalah keadilan Tuhan ini mendorong timbulnya masalah perbuatan manusia yakni apakah perbuatan manusia itu diwujudkan oleh Tuhan atau manusia sendiri? Bagi kaum jabariah sebagaimana diuraikan di atas, bahwa perbuatan manusia itu diwujudkan oleh Tuhan. Sedangkan bagi kaum Mu’tazilah bahwa perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Karena itu tidaklah adil jika Tuhan menyiksa manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah oleh Tuhan. Tuhan baru dapat disebut adil jikamenghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.
- 3. Al- Wa’ad wa al-Wa’id
Ajaran ini sebagai lanjutan dari ajaran keadilan sebagaimana telah disebutkan di atas. Aliran mu’tazilah yakin bahwa janji Tuhan berupa pemberian pahala dan ancaman kepada manusia, pasti terjadi dan tidak bisa tidak. Barangsiapa yang melakukan kebaikan maka ia berhak mendapatkan pahala, sebaliknya bagi orang yang melakukan keburukan, maka akan mendapatkan siksa dan ini pasti terjadi. Dalam hal ini Tuhan tidak dapat berbuatlain kecuali melaksanakan janji-Nya itu. Tuhan tidak bisa memasukkan orang jahat ke dalam surga dan tidak dapat pula memasukkan orang baik ke dalam neraka.
Sebagai realisai dari pelaksanaan janji-Nya itu, Mu’tazilah berpendapat bahwa pengampunan bagi orang yang berbuat dosa besar tanpa taubat tidak ada, sebagaimana juga tidak mungkin orang yang berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Dalam ajarannya ini Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat disebut adil, jika Iatidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk.
Dalam paham keadilannya tersebut nampak terlihat betapa besarnya peranan manusia dan akal menurut kaum Mu’tazilah, dalam memecahkan masalah, sehinggaada kesan seolah-olah manusia dan akal-lah yang mengatur kekuasaan Tuhan. Tuhan sepertinya harus mengikuti kemauan manusia. Hal ini dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah karena Tuhan sendiri sebagaimana dalam beberapa ayat al-Qur’an sering menyatakan bahwa Ia tidak akan menyalahi janji-Nya. Paham ini dibangun oleh kaum Mu’tazilah untuk mensucikan perbuaan Tuhan dari tindakan atau perbuatan yang tidak sepantasnya terjadi pada-Nya. Menyalahi janji misalnya tidaklah pantas terjadi pada Tuhan, sebab kalau hal itu terjadi berarti Tuhan ternoda oleh perbuatan-Nya sendiri. Jadi, dibalik argumen-argumen rasionalnya terkandung maksud baik dari kaum Mu’tazilah.
- 4. Al-Manzilah baina al-Manzilatain
Al-Manzilah baina al-Manzilatain secara harfiah berarti posisi di antara dua posisi, dan menurut mu’tazilah bahwa yang dinamakan dengan ungkapan itu adalah suatu tempat yang terletak di antara surga dan neraka. Ajaran ini dinilai sangat penting, karena dengan ajaran ini, Wasil bin Atha’ rela memisahkan diri dari Hasan Al-Basri sebagai gurunya. Wasil berpendirian bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, juga tidak termasuk mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq. Kefasiqan itu beada di antara iman dan kafir. Menurutnya tingkatan orang fasiq berda di bawah orang mukmin dan di atas orang kafir. Demi melaksanakan keadilan Tuhan dan janji-Nya itu, orang fasiq tidak dapat masuk surga, karena ia dianggap bukan mukmin dan tidak pula ia dimasukkan ke dalam neraka, karena ukan kafir. Untuk melaksanakan keadilan Tuhan, orang yang serupaitu harus ditempatkan di antara surga dan neraka. Tetapi karena di akhirat tidak ada tempat lain, kecuali surga dan neraka, maka orang fasiq itu harus dimasukkan ke dalam neraka, yang keadaannya berbeda dengan mereka yang diterima oleh orang kafir.
Dalam ajaran keempat itu terlihat betapa kuatnya pengaruh akal dalam membangun pemikiran-pemikirannya. Hal ini semakin menambah kejelasan bahwa Mu’tazilah memang pantas disebut sebagai kaum rasional.
- 5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar Ma’ruf Nahi Munkar berarti perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat. Ajaran serupa ini sebenarnya bukan hanya di anut oleh kaum Mu’tazilah, tetapi juga oleh golongan lain. Perbedaannya dengan golongan lain terletak padacara pelaksanaannya. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa dalam keadaan normal pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi kalau dalam keadaan tertentu amar ma’ruf nahi munkar itu perlu dengan kekerasan. Dalam sejarah memang terbukti bahwa kaum Mu’tazilah menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran itu.
Namun di balik kekerasan yang pernah dilakukannya itu terdapat maksud baik, dan kondisi sosial memang menghendaki demikian. Dalam sejarah tercatat bahwa kaum Mu’tazilah tampil sebagai aliran yang kuat dalam mempertahankan kebenaran Islam, dan mempertahankannya dari kesesatan yang terdapat pada permualaan zaman khalifah Abbasiyah. Pada masa itu terdapat orang-orang hendak menghancurkan Islam dari dalam dengan menggunakan senjata filsafat. Untuk masalah ini, Mu’tazlah di samping menggunakan pang mengetahui emikiran filsafat, juga memakai kekerasan. Dengan demikian tindakan kekerasannya mempunyai argumentasi rasional yang kuat.
Pandangan rasional kaum mu’tazilah selanjutnya dapat dilihat pada uraian mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran dalam ilmu kalam, yaitu : tentang mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui baik dan jahat dan mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Keempat masalah ini menurut Mu’tazilah dapat diketahui oleh akal.
Mu’tazilah berpendapat, bahwa manusia dengan akalnya dapat mengetahui Tuhan, dan sebagai akibatnya manusia sudah wajib bertuhan sebelum datangnya wahyu. Dalam hal ini Mu’tazilah nampak cukup kreatif dan tidak menghendaki ada masyarakat yang tidak bertuhan, karena untuk mempercayai dan mengetahui Tuhan, manusia memiliki akal sebagai alatnya. Pendapat ini nampak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan para antropolog. Menurut hasil peneltian mereka, data-data historis menunjukkan bahwa bangsa-bangsa yang hidup di pedalaman dan tidak pernah mendapat seruan untuk beriman ternyata memiliki kepercayaan. Di antara bangsa-bangsa tersebut ada yang mengambil kepercayaan kepada kekuatan ghaib, roh dan sebagainya. Demikian pula dalam filsafat ketuhanan yang diperkenalkan oleh Ibn Tufyl, melalui karyanya Havy Ibn Yaqzan yang tinggal di dalam hutan dan dibesarkan oleh seekor rusa. Tokoh itu kemudian mengakui adanya Tuhan.
Namun sungguhpun akal dapat mengetahui adanya Tuhan, ia tetap tidak dapat menentukan jenis Tuhan yang sesunggguhnya, sehingga Tuhan yang digambarkan oleh akal itu dapat berubah-ubah. Untuk itu perlu wahyu yang menginformasikan tentang Tuhan yang seharusnya diyakini adanya. Dengan demikian wahyu tetap berfungsi selain sebagai pemberi informasi juga sebagai pemberi konformasi atau penegasan terhadap hasil temuan akal.
F. Pandangan Aliran Mu’tazilah
Adapun pandangan aliran Mu’tazilah yang berkenaan dengan permasalahan dasar pemikiran alirannya antara lain:
- Pelaku dosa besar, Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir melainkan ada diantara dua posisi yaitu kafir dan mu’min, hukumnya sebagai orang yang fasik.
- Tentang imamah menurut mu’tazilah hanya merupakan soal plitik saja, sehingga orang imam adalah penguasa politk bukan penguasa agama. Karena itu untuk mengetahui syarat agama melalui Al-Qur’an, al Sunnah, Ijama’dan Qiyas.
- Terhadap kalam Allah (Al-Qur’an) berpendapat bahwa itu bukan Qadim atau kekal, tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan.
- Tentang sifat-sifat Tuhan, kaum Mu’tazilah meniadakan sifat Tuhan yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiri diluar zat Tuhan. Oleh karena itu Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan menjadi dua bagian yaitu:
- Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan disebut sifat zatiah.
- Sifat-siaft yang merpakan pernuatan-perbuatan Tuhan disebut sifat fi’liah.
- Mengingkai bahwa Tuhan itu dapat dilihat dengan mata kepala di akherat.
- Mengingkari pendapat adanya arah bagi Tuhan dan menakwilkan ayat-ayat yang mempunyai persamaan Tuhan dengan manusia (mutasyabihat)
- Mempercayai dengan ke Esaan yang mutlak dengan menolak konsepsi-konsepsi dualisme dan trinitas tentang Tuhan.
G. Filsafat Aliran Mu’tazilah
Meski filsafat tidak menjadi tujuan utama alira mu’tazilah, melainkan sebagai alat untuk menolak serangan-serangan lawannya namun dengan adnya filsafat itu, mereka dengan serta merta memasuki fase baru dalam sejarah mereka, karena filsafat tersebut telah menimbulkan revolusi pikiran ang penting dalam kehidupan mereka. Setlah mereka mengenal persoalan-persoalannya dan memperdalamya, maka mereka mencintai filsafat karena filsafat itu sendiri, ada kelanjutannya ialah:
- Mereka menjunjung tinggi filosof-filosof yunani dan menempatkannya pada tingkatan yang mendekati tingkatan nabi-nabi kemudian mempercayai kebenaran pendapat-pendapatnya, bahkan di anggapnya melengkapi ajaran-ajaran agama islam. Karena itu mereka dengan asyik mengusahakan sinkretisme (perpduan taufik) antara filsafat yunani dan agama islam.
- Ajaran mu’tazilahs sedikit demi sedki menjadi jauh dari tujuan mereka yang bersifat agma murni dan mulai mengesampingkan persoalan-persoalan kepercayaan dan ketuhanan. Kemudian perhatian mereka beralih pada persoalan filsafat murni,seperti soal ”gerak” (harakah), ”diam” (sukun), ”jauh”, ”aradh”, ”maujud”, ”ma’adum”, dan ”bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lain” (atom).
Juga O. Leary mengatakan bahwa filsafat yunani telah meninggalkan pengaruh yang besar terhadap dunia pikir islam. Karena itu tepatlah apabila aliran mu’tazilah dipertalikan dengan filsafat dan dianggap sebagai filosof-filosof yang pertama.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Demikianlah sekilas pembahasan tentang Aliran Mu’tazilah yang lahir dan tercatat dalam sejarah peradaban Islam. Aliran Mu’tazilah yang selalu membawa persoalan-persoalan teologi banyak memakai akal dan logika sehingga mereka dijuluki sebagai “kaum rasionalis Islam“. Penghargaan mereka yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan mereka sendiri, hal ini disebabkan keberagaman akal manusia dalam berfikir. Bahkan perbedaan tersebut telah melahirkan sub-sub sekte (aliran) mu’tazilah “baru” yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Walaupun gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan, namun pada saat ia mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak yang menantangnya. Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela. Dan adanya tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang terpenting bagi lenyapnya aliran ini di kemudian hari.
Dan dapat diketahui bahwa orang yang pertama membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil ibn ’Ata. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia adalah Syaikh al-Mu’tazilah wa qadil muha, yaitu kepala mu’tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H.
Aliran mu’azilah dibagi menjadi dua aliran yaitu Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Bagdad. Aliran Mu’tazilah basrah lebih dahulu munculnya dibandingkan denga aliran Mu’tazilah Bagdad.perbedaan tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan kultural dimana kota Basrah lebih dahulu didirikan dan juga lebih dahulu mengenal perpaduan ankeka ragam kebudayaan dan agama.
DAFTAR PUSTAKA
v Nasution, Harun, teologi islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, cet. Ke 5, Penerbit UI Press, jakarta, 1986.
v Bashori, Ilmu Tauhid (Ilmu Kalam), Malang , 2001.
v Nata, Abidin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Edisi 1, cet. 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
v Hanafi, A., Pengantar teologi islam (Ilmu Kalam). Cet. III, penerbit, Bulan Bintang, Jakarta , 1979.
v http://www.google.com/wikipedia-mu’tazilah.
v http://www.google.com/ensiklopedia-mu’tazilah.