RSS

Mu’tazilah

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. 1.    Latar belakang

Teologi islam sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam pelajaran yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang- ambing oleh peradaban zaman.

Teologi dalam Islam juga disebut ’ilmu al-tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau esa dan keesaan dalam pandangan Islam, sebagai agama monotheisme. Merupakan sifat yang penting diantara segala sifat-sifat Tuhan. Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang bersifat liberal, tradisional dan ada pula yang mempunyai sifat antara liberal dan tradisinal. Liberal dan tradisional tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam.

Teologi dalam Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu tauhid. Dan ilmu tauhid yang diajarkan dan dikenal di Indonesia pada umumnya adalah ilmu tauhid.

  1. 2.    Rumusan masalah
  • Apa definisi dari mu’tazilah?
  • Bagaimana asal-usul penyebutan nama mu’tazilah?
  • Siapa sajakah tokoh-tokoh dari aliran mu’tazilah?
  • Apa saja Pokok-pokok Ajaran Aliran Mu’tazilah?
    • Bagaimanakah Pandangan Aliran Mu’tazilah?
    • Bagaimana Filsafat Aliran Mu’tazilah?

 

 

  1. 3.    Tujuan
  • Agar mahasiswa mengatahui definisi dari mu’tazilah.
  • Agar mahasiswa mengetahui asal-usul penyebutan mu’tazilah.
  • Agar mahasiswa mengetahui para tokoh-tokoh dari aliran mu’tazilah.
  • Agar mahasiswa mengetahui pokok-pokok ajaran mu’tazilah.
  • ·      Agar mahasiswa mengetahui pandangan-pandangan aliran mu’tazilah.
  • Agar mahasiswa mengetahui filsafat-filsafat aliran mu’tazilah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

ALIRAN MU’TAZILAH

Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya Khawarij dan Syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir. Satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka.

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis Kristen dan Yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.

Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran Mu’tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Aqlaniyah. Modernisasi pemikiran, Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan.

  1. A.      Pengertian Mu’tzilah

Mu’tazilah secara etimologi bermakna orang-orang yang memisahkan diri. Sedangkan secara terminologi Mu’tazilah adalah sebuah firqoh Islamiyah (aliran dalam Islam) yang muncul pada akhir Dinasti Umayyah dan mulai tumbuh pesat pada permulaan Dinasti Abbasiyah. Dengan adanya filsafat-filsafat import (filsafat Yunani dalam diskursus dzat dan sifat, filsafat Hindu, dan aqidah Yahudi dan Nasrani), mereka terpengaruh ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah ahlu sunnah wal jama’ah ini, dan mereka berpegang pada kekuatan rasionalitas dalam memahami aqidah Islam.

Sedangkan sebagian ulama, mendefinisakan sebagai suatu kelompok dari Qadariyah yang berbeda pendapat dengan umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil Atha’ dan Umar bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashri.

  1. B.        AsalUsul Penyebutan Nama Mu’tazilah

              Menurut Al-Baghdadi paham ini mula-mula timbul ialah semenjak adanya perselisihan pendapat antara Washil bin Atha’ dengan gurunya Syekh Hasan Bashri, seorang tabi’in di Basrah (wafat 110 H), mereka berselisih tentang orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan tidak tobat sebelum mati. Menurut Imam Hasan Bashri, jika seorang mukmin melakukan dosa besar seperti membunuh dia tidak menjadi kafir dengan perbuatannya, ia tetap mukmin tetapi mukmin yang durhaka dan jika dia meninggal sebelum taubat, dia di hukum dalam neraka beberapa waktu kemudian dimasukkan ke surga setelah selesai menjalani hukumannya. Sedangkan menurut Washil bin Atha’ (tokoh kaum mu’tazilah), orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan meninggal sebelum taubat tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir tetapi diantara kafir dan mukmin. Dia dimasukkan neraka untuk selamanya seperti orang kafir tetapi hukumannya diringankan tidak sepanas neraka orang kafir pada umumnya. Dan inilah nantinya yang disebut dengan Manzilah bainal Manzilatain atau tempat diantara dua tempat.

Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke Masjid Basrah dan menuju ke Majelis Hasan al-Basri. Setelah ternyata baginya bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “ini kaum Mu’tazilah.” Semenjak itu, kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.

Al-mas’udi memberikan pendapat lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian antara paham Wasil dan Amr dari satu pihak dan Hasan al- Basri dari pihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi tersebut (al-manzilah bain al-manzilatain)  membuat orang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.

Di samping keterangan-keterangan klasik ini ada teori baru yang dikemukakan  oleh Ahmad Amin. Nama Mu’tazilah sudah ada sebelum peristiwa Wasil dan Hasan al- Basri, dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Kalau itu dipakai sebagai designatie terdapat golongan-golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di zaman ‘Usman ibn Affan dan ‘Ali ibn Abi Talib. Mereka menjauhkan diri dari golongan yang saling bertikai. Golongan yang menjauhkan diri ini memang dijumpai dalam buku-buku sejarah. Al-Tabari umpamanya menyebut bahwa  sewaktu Qais ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai gubernur dari Ali Ibn Abi Talib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan turut padanya dan satu golongan menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila kharbita). Dalam suratnya kepada kholifah , Qais menamai mereka ”Mu’tazilin” kalau al-Tabari menyebut nama “Mu’tazilin, Abu al-Fida memakai kata “al-Mu’tazilah sendiri.

Jadi kata “i’tazala dan “Mu’tazilah” sudah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum peristiawa Wasil dan Hasan al-Basri.

Dengan demikian golongan Mu’tazilah pertama ini mempunyai corak politik. Dan dlam pendapat Ahmad Ahmin, Mu’tazilah kedua yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil ,juga mempunyai corak politik karena mereka sebagai kaum Khawarij dan kaum Murji’ah. Karena mereka juga membahas praktek-praktek politik Usman, Ali, Mu’awiah dan sebagainya. Perbedaan Mu’tazilah kedua menambah persoalan teologi dan filsafat dalam ajaran mereka.

C.A. Nallino, seorang Orientalis mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin berdasarkan versi Mas’udi tersebut sebelumnya, bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya tidak mempunyai arti “memisahkan diri dari umat Islam lainnya”. Sebagai mana dalam versi yang diberikan al-Syahrastani, al- Bahdadi dan Tasy Kubra Zadah . Tetapi sebaliknya, nama itu diberikan pada mereka menurut versi Mas’udi , merupakan golongan yang berdiri netral di antara Khawarij yang memandang Usman, Ali, Mu’awiah dan orang berdosa besar lainnya kafir, dan Murji’ah yang memandang mereka tetap mukmin. Keduanya mempunyai hubungan erat dengan Mu’tazilah pertama.

Tetapi teori ini dibantah oleh Ali Sami al- Nasysyah dengan mengemukakan argumen bahwa ada khalifah-khalifah Bani Umayyah yang menganut ajaran Mu’tazilah. Bani umayyah termasuk salah satu golongan yang bertentangan dengan kaum Khawarij dan kaum Mu’tazilah memandangnya sebagai orang yang bedosa yang akan kekal di neraka.

Al-Nasysyar selanjutnya berpendapat bahwa nama Mu’tazilah betul timbul dalam lapangan pertentangan-pertentangan politik Islam terutama antara Ali dan Mu’awiah tetapi nama itu tidak dipakai untuk satu golongan tertentu. Argumentasi yang dimajukan oleh al-Nasysyar ialah bahwa kata-kata i’tazala dan al- Mu’tazilah terkadang dipakai untuk orang yang menjauhi peperangan ,orang yang menjauhkan diri dari Ali dan sebagainya. Pada hakikatnya mereka menjauhkan diri dari masyarakat umum dan memusatkan pada ilmu pengetahuan dan ibadat. Diantara orang-orang ini terdapat dua orang dari cucu nabi, yaitu Abu Hasim Abdullah dan al-Hasan Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiah . dan Wasil punya hubungan erat dengan Abu Hasyim. Jadi menurut al-Nasysyar, golongan Mu’tazilah kedua timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu’tazilah yang dikatakan aliran Politik.

Untuk mengetahui asal-usul Mu’tazilah itu dengan sebenar-benarnya memang sulit. Berbagai pendapat diajukan oleh ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat dari mereka. Yang jelas adalah bahwa nama Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam timbul peristiwa Wasil dan Hasan al-Basri di Basra dan bahwa lama sebelum peristiwa tersebut telah pula terdapat kata i’tazala, al-Mu’tazilah. tetapi apa hubungannya antara Mu’tazilah pertama dengan kedua, fakta-fakta yang ada belum dapat memberi kepastian. Selanjutnya sapa yang memberi nama Mu’tazilah kepada Wasil dan pengikutnya-pengikutnya tidaklah jelas. Ada yang mengatakan golongan lawanlah yang memberikan nama itu kepada mereka.tetapi jika kembali kepada ucapan-ucapan kaum Mu’tazilah, maka akan kita temui bahwa mereka sendirilah yang memberi nama itu kepada golongan mereka. Al-Qadi’ Abd al-Jabbar, umpamanya mengatakan bahwa kata i’tazala yang terdapat dalam al-Qur’an mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar, dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian. Selanjutnya ia menerangkan adanya hadist nabi, bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang paling baik dan patuh adalah Mu’tazilah. Bahkan menurut Ibn al-Murtada kaum Mu’tazilah sendirilah yang memberi nama kepada golongannya dan bukan orang lain.

  1. C.      AsalUsul Munculnya Aliran Mu’tazilah

Secara teknis, Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:

  • Golongan pertama disebut Mu’tazilah I muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubeir dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali. Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar,  Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah.
  • Golongan kedua disebut Mu’tazilah II muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
  1. D.      Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah

Secara geografis aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua aliran yaitu Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Bagdad. Aliran Mu’tazilah Basrah lebih dahulu munculnya dibandingkan denga aliran Mu’tazilah Bagdad. Perbedaan tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan kultural dimana kota Basrah lebih dahulu didirikan dan juga lebih dahulu mengenal perpaduan aneka ragam kebudayaan dan agama.

Menurut Ahmad Amin pebedaan kedua aliran tersebut karena aliran Mu’tazilah Bagdad banyak dipengaruhi filsafat yunani, disebabkan adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat. Disamping itu istanah khalifah Abbasiyah di Bagdad dijadikan tempat pertemuan ulama-ulama Islam dengan ahli pikir golongan lain. Aliran Basrah lebih banyak menekankan pada segi teori dan keilmuannya, sedangkan aliran Bagdad menekankan pada segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan khalifah-khalifah.

Tokoh-tokoh aliran basrah antara lain Wasil bin ’Ata, al ’Allaf, an Nazzham dan al Jubai. Tokoh aliran Bagdad antara lain Basyr bin al Mu’tamir, al Khayat. Kemudian pada masa berikutnya lagi ialah al Qadhi Abdul Jabar dan az Zamachsyari. Uraian berikut ini berdasarkan urutan geografis dan kronologis.

1.  Wasil bin ’Ata (80-131 H/699-748 M)

Nama lengkapnya Wasil bin ’Ata al Ghazali. Ia terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah dan menjadi pimpinan/kepala yang pertama. Ia pula terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip aliran Mu’tazilah.

Ajaran pertama yang dibawa Wasil tentulah paham al-manzilah bain al-manzilatain, posisi di antara dua posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi fasiq yang menduduki posisi diantara posisi mukmin dan posisi kafir. Kata mukmin dalam pendapat Wasil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada fasiq, dengan dosa besarnya.

Ajaran yang kedua adalah paham Qadariah yang dianjurkan oleh ma’bad dan ghailan. Tuhan, kata Wasil bersifat bijaksana dan adil. Dengan demikian manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan dan tidak kepatuhannya kepada tuhan. Atas perbuatan-perbuatan ini, manusia memperoleh balasan. Wasil kelihatannya memperoleh paham ini dari Ghailan melalui Abu Hasyim ’Abdullah Ibn Muhammad al-Hanafiah. Bahkan menurut al-Nasysyar ada kemungkinan bahwa Wasil pernah  berjumpa dengan Ghailan sendiri.

Ajaran yang ketiga adalah mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri diluar zat. Ajaran ini, sebagai dikatakan al-Syahrastani, belum matang dalam pemikiran Wasil, tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikut-pengikutnya, setelah mereka mempelajari filsafat yunani.

Paham peniadan sifat ini kelihatannya berasal dari jahm, karena jahm menurut al-Syahrastani, berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada pada manusia tak dapat diberikan kepada Tuhan, karena itu akan membawa kepada anthoropomorphism yang disebut dalam istilah arab al-tajassum atau al-tasybih. Tetapi, berlainan dengan kaum Mu’tazilah, jahm masih bisa memberi sifat berkuasa, berbuat dan mencipta pada Tuhan. Sebagai seseorang yang menganut paham jabariah atau fatalisme, jahm melihat bahwa hanya Tuhan yang berkuasa, berbuat dan mencipta. Manusia tak mempunyai daya apa-apa.

Menurut al-Malatti, Wasil mempunyai dua murid penting yang masing-masing bernama Bisyr Ibn Sa’id dan Abu Usman al-Za’farani. Dari kedua murid inilah dua pemimpin lainnya, Abu al-Huzail al-Allaf dan Bisyr Ibn mu’tamar menerima ajaran-ajaran Wasil. Bisyr sendiri kemudian menjadi pemimpin Mu’tazilah cabang Baghdad.

2.  Al ’Allaf

Nama lengakpnya adalah Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail al ’Allaf. Sebutan al’Allaf di peroloehnya karena rumahnya terletak di kampung penjual makanan binatang (’alaf – makanan binatang). Ia lahir tahun 135 H dan wafat di tahun 235 H dan banyak berhubungan dengan filsafat yunani. Ia guru pada Utsman at-Tawil, murid Wasil. Puncak kebesarannya dicapainya pada masa al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama dan aliran-aliran pada masanya. Hidupnya penuh dengan perdebatan dengan orang zindiq (orang yang pura-pura islam),skeptis, majusi, zoroaster, dan menurut riwayat ada 3000 orang yang masuk Islam di tangannya. Ia banyak membaca buku-buku dan banyak hafalannya terhadap syair-syair arab. Ia banyak berhubungan dengan filosof-filosof dan buku-buku filsafat.

An-Nazham mengatakan tentang dirinya, bahwa ketika dia tinggal di kuffah, ia mempelajari buku-buku filsafat. Setelah datang di Basra, ia mengira bahwa dirinya lebih tahu tentang kata-kata filsafat yang pelik daripada al-Allaf. Akan tetapi setelah berhadapan dengan dia, ia baru tahu bahwa perkiraannya itu salah. Karena ternyata al-Allaf lebih pandai dan terbayang olehnya seolah-olah pekerjaan al-Allaf hanya pada bidang filsafat saja. Jadi, pertaliannya dengan filsafat itulah yang menyebabkan dia sanggup mengatur dan menyusun ajaran-ajaran Mu’tazillah dan membuka pembahasan baru yang belum pernah dimasuki orang sebelumnya.

Abu al-huzail berpendapat bahwa manusia dengan mempergunakan akalnya dapat dan wajib mengetahui Tuhan. Oleh karena itu, kalau manusia lalai dalam mengetahui Tuhan, ia wajib di beri ganjaran. Manusia juga mengetahui yang baik dan yang buruk,oleh karena itu dia wajib mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti bersikap adil dan berkata benar, dan wajib menjauhi perbuatan-perbuatan buruk seperti berdusta dan bersikap zalim.

Tuhan menciptakan manusia bukan karena ia berhajad pada mereka, tetapi karena hikmah lain. Dan Tuhan tidak menghendaki hal-hal yang bermanfaat bagi manusia. Dari sini timbullah satu ajaran lain yang penting dalam aliran Mu’tazilah yaitu paham al-salah wa al-aslah, dalam arti Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan manusia. Tuhan sebenarnya dapat betindak zalim dan berdusta terhadap manusia, tetapi mustahil Tuhan berbuat demikian. Perbuatan demikian berarti mengandung arti tidak baik, dan Tuhan sebagai zat yang maha sempurna tidak bisa berbuat yang tidak baik. Perbuatan-Nya semuanya wajib bersifat baik.

3.  An-Nazzham(wafat 231 H/485 M)

Nama lengkapnya adalah Ibrahim Bin Sayyar Bin Hani An-Nazzham, tokoh mu’tazillah yang terkemuka,lancar bicara, banyak mendalami filsafat dan banyak pula karyanya. Ketika kecil ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan islam, dan sesudah dewasa ia banyak berhubungan dengan filosof-filosof yang hidup pada masanya serta banyak mengambil pendapat-pendapat yang di kemukakan oleh mereka.

Ia berguru pada Abu Huzail al-Allaf, kemudian mengadakan aliran sendiri, pada usianya ke-36 tahun ia meninggal dunia An-Nazzham mempunyai kekuatan otak yang luar biasa, dimana beberapa pemikirannya telah mendahului masanya antara lain tentang metode keraguan (methodeof doubt) dan emperika (percobaan-percobaan) yang menjadi dasar kebangunan baru (renaissance) di eropa

Orang awam lebih sedit keraguannya dibanding dengan orang-orang pandai, karena orang awam tidak pernah meragukan dirinya. Apa yang ada pada mereka hanya keberanian kepercayaan (asal percaya) semata-mata atau keberanian mendustakan semata-mata, serta meniadakan keadaan yang ketiga yaitu keraguan-keraguan.

Percobaan yang dilakukan oleh an-Nazzham tidak banyak bedanya dengan penyelidikan dari orang ahli ilmu alam atau kimia, ia pernah meminumkan tusk (khamr) kepada bermacam-macam hewan untuk mengetahui pengaruh (reaksi minuman keras itu).

Karena ia sangat bebas berpikir, ia berani menyerang ahli hadis dan tidak banyak percaya kepada keshahian hadits-hadits. Ia sangat menjunjung Al Qur’an dan sedikit percaya kepada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para mufassirin.

An-Nazzham berpendapat bahwa Tuhan tidak bisa dan tidak sanggup berbuat yang tidak baik, dan seterusanya wajib bagi Tuhan untuk berbuat hanya yang baik bagi manusia yaitu apa yang disebut dalam istilah Mu’tazilah al-salah wa al-aslah, sehingga ia berpendapat bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk mengeluarkan orang yang telah menjadi ahli surga dari surga dan memasukkan orang yang bukan ahli neraka kedalam neraka, dan tuhan tak berkuasa untuk mengurangi kesenangan ahli surga atau menambah siksaan ahli neraka.

Sebagai dikatakan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al Qur’an yang dalam istilah teologi disebut kalam Allah, bukan qadim atau kekal, tetapi hadits dalam arti baru diciptakan Tuhan. Al nazam memberi penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kalam atau sabda Tuhan. Kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Suara bersifat baru bukan bersifat kekal dan adalah ciptaan Tuhan.

Seorang pemimpin Mu’tazilah lain ialah Mu’ammar Ibn Abbad yang hidup semasa dengan Abu al-Huzail dan al-Nazzham, menurut pendapatnya yang diciptakan Tuhan hanyalah benda-benda materi, adapun al-a’ rad aua accidents adalah kreasi benda-benda materi itu sendiri dalam bentuk natur.

4.  Al-Jubbai (wafat 303 H/915 M)

Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali al-Jubbai, tokoh Mu’tazilah Basrah dan murid dari as-Syahham (wafat 267 H/885 M), tokoh mu’tazilah juga. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Abu hasyim al-Jubbai, mencerminkan akhir masa kejayaan aliran mu’tazilah.

Sebutan AL-Jubbai diambil dari suatu tempat, yaitu Jubba di propinsi Chuzestan-iran yang merupakan tempat kelahirannya.

Al- Jubbai adalah guru imam al-Asy’ari, tokoh utama aliran ahlussunnah. Ia membantah buku karangan Ibnu Ar-Rawandi, yang menyerang aliran Mu’tazilah dan juga membalas serangan iman al-Asy’ari ketika yang terakhir ini keluar dari barisan Mu’tazilah. Akan tetapi pikiran-pikiran dan tafsiran-tafsirannya terhadap Al Qur’an tidak sampai pada kita. Menurut dugaan, pikiran itu banyak diambil oleh az-Zamakhsyari.

Antara lain al-Jubbai dan anaknya Abu Hasyim sering dikelirukan orang, karena anaknya tersebut juga menjadi tokoh Mu’tazilah dan alirannya terkenal dengan nama ”Bah syamian”. Aliran ini banyak tersebar di rai dan sekitarnya (iran), karena dapat dukungan dari Sahib bin ’Abad, menteri kerajaan Bani Buwaihi.

Al-ubbai dan anaknya berpendapat bahwa yang disebut kalam atau sabda Tuhan tersusun dari huruf dan suara. Tuhan disebut Mutakallim dalam arti menciptakan kalam . Mutakallim tidak mengandung arti sesuatu tersusun yang berbicara. Mereka juga berpendapat bahwa Tuhan tak akan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya di akhirat. Mengetahui Tuhan serta bersyukur kepada-Nya dan mengetahui perbuatan baik dan perbutan buruk adalah wajib bagi manusia dalam arti kewajiban-kewajiban yang di paksakan oleh akal (wajibat ’aqliah). Oleh sebab itu mereka mengakui adanya apa yang disebut ajaran-ajaran akal (syari’ah ’aqliah).

Ajaran-ajaran yang dibawa Nabi-nabi (syari’ah Nabawiah) perlu untuk mengenal besarnya balasan dan hukuman terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Akal manusia hanya dapat mengetahui bahwa orang patuh pada Tuhan akan mendapat upah dan bahwa orang yang melawan Tuhan akan memperoleh hukuman. Tetapi berapa besarnya upah atau hukuman itu diketahui manusia hanya melalui wahyu.

Mengenai peniadaa sifat Tuhan, al-Jubbai berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya. Dengan demikian Tuhan mengetahui tidak perlu pada sifat mengetahui dan pula tidak pada keadaan mengetahui. Adapun bagi anaknya Abu Hasyim, Tuhan mengetahui melalui keadaan mengetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat tetapi hal (satate).

5.  Basyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)

Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah di Bagdad. Pandangan-pandangannya mengenai kesusasteraan sebagaimana yang banyak dikutip al-Jahiz dalam bukunya al-Bayan wat-Tabyin, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang pertama-tama mengatakan ilmu balaghah.

Beberapa pendapat tentang paham ke-Mu’tazilahan hanya sedikit saja yang sapai kepada kita. Ia adalah orang yang pertama-tama mengemukakan soal ”tawallud” (reproduction) yang boleh juga dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya

Di antara murid-muridnya yang besar pengaruhnya dalam penyebaran paham-paham ke-Mu’tazilahan di bagdad ialah Abu Musa al Mudar, Tsumamah bin al-Asyras dan Ahmad bin Abi fu’ad.

Menurut al-Syahrastani ia dengan kuat mempertahankan pendapat bahwa Al Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi diciptakan Tuhan dan memandang orang yang mengatakan Al Qur’an qadim menjadai kafir, karena dendan demikian orang serupa itu telah membuat yang bersifat qadim menjad dua. Dengan kata lain, orang yang demikian menurut al-Murdar telah menduakan Tuhan. Selanjutnya ia juga berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukanah diciptakan Tuhan tetapi diwujudkan oleh manusia sendiri. Ia juga mengatakan bahwa Tuhan tak dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya.

6.  Al-Chayyat (wafat 300 H/912 M)

Nama lengkapnya adalah Abu al-Husein al-Khayyat, dia termasuk tokoh Mu’tazilah bagdad, dia juga pengarang buku “al-Intisar” yang dimaksudkan untuk membela aliran mu’tazilah dari serangan ibn ar Rawandi. Ia hidup pada masa kemunduran arilran Mu’tazilah.

Ia dan Sumamah Ibn Asyras (w. 213 H) berpendapat bahwa daya berbuat bagi manusia terdapat dalam tubuh manusia sendiri yaitu tubuh yang baik dan sehat lagi tidak mempunyai cacat. Ia juga berpendapat bahwa nanusia melalui akalnya, berkewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui perbuatan baik serta perbuatan buruk sebelum wahyu turun.

Al-Khayyat mengatakan bahwa kehendak bukanlah sifat yang melekat pada zat Tuhan dan Tuhan berkehendak bukan melalui zat-Nya. Jika Tuhan berkehendak berarti ia mengetahui, berkuasa dan tidak dipaksa melakukan perbuatan-perbuatan-Nya, itu berarti bahwa ia menciptakan perbuatan-perbuatan sesuai dengan pengetahuan-Nya. Tuhan menghendaki perubuatan-perbuatan hamba-Nya berarti tuhan memerintahkan supaya perbuatan-perbuatan itu dilakukan. Tuhan maha mendengar berarti Tuhan mengetahui apa yang didengar, demikian pula Tuhan melihat apa yang dapat dilihat. Inilah interprestasi al-Khayyat tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan.

7.  Al-Qadhi Abdul Jabar (wafat 1024 M di Ray)

Ia juga hidup pada masa kemunduran aliran mu’tazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim (qadhi al-qudhat) oleh Ibnu Abad. Diantara karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokok-pokok  ajaran aliran Mu’tazilah yang terdiri dari beberapa jilid dan banyak dikutip oleh as-Syarif al Murtadha. Buku tersebut sedang dalam penerbitan di Kairo dengan nama ”al-Mughni”.

8.  Az-Zamaihsyari (467-538 H/1075-1144 M)

Nama lengkapnya adalah Jar Allah Abdul Qasim Muhammad bin Umar kelahiran Zamachsyar, sebuah dusun di negeri Chawarazm (sebelah selatan lautan Qazwen), iran sebutan ”Jarullah” yang berarti tetangga Allah, dipakainya karena ia lama tinggal di Makkah dan bertemapat di sebuah rumah dekat ka’bah. Selama hidupnya ia banyak mengadakan perjalanan dari negeri kelahirannya menuju Bagdad, kemudian ke Makkah untuk bertempat disana bebeapa tahun lamanya dan akhirnya ke Jurjan (Persi-Iran) dan di sana ia menghembuskan nafas terakhir.

Pada diri az-Zamaihsyari terkumpul karya aliran Mu’tazilah selama kurang lebih empat abad. Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu (grammatika) paranatasastra (lexicologi).

Ia dengan terang-terangan menonjolkan paham ke Mu’tazilahannya dan dituliskan dalam bukunya serta dikemukakannya dalam pertemuan-pertemuan keilmuan. Dalam tafsirnya ”al Kassyaf” ia telah berusaha sekuatnya untuk menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan ajaran-ajaran Mu’tazlah terutama lima prinsip yaitu Janji dan Ancaman, Tempat diantara dua tempat dan Amar Ma’ruf  Nahi Mungkar.

Disamping segi ke Mu’tazilahannya al-Kassyaf menunjukkan kekuatan pengarangnya dalam segi bahasa, balaghah, ilmu stylistika (ilmu uslub) dan kemu’jizatan Al Qur’an, sehingga golngan musafirin banyak menggunakan dan tidak bisa melepaskannya sampai sekarang.

Ibnu Munir, hakim kota Iskandariah (wafat 787 H) menyusun sebuah buku untuk menunjukkan pikiran-pikiran kemu’tazilahan dalam al-Kassyaf, dengan dibantahnya pula, kmudian memberikan tafsiran menurut paham ahlussunnah terhadap ayat-ayat yang telah ditafsirkan menurut paham kemu’tazilahan oleh az-Zamachsyari. Namun bagaimanapun juga, dikalangan aliran Mu’tazilah az-Zamachsyari merupakan tokoh yang sukar dicari tandingannya.

  1. E.       Ajaran-Ajaran Pokok Mu’tazilah (al-Ushul al-Khamsah)
    1. 1.    Al- Tauhid

Al- Tauhid atau ke-maha Esaan Tuhan merupakan ajaran dasar yang terpenting bagi aliran Mu’tazilah. Tuhan bagi mereka, baru dapat di katakan benar-benar Maha Esa, kalau Ia merupakan suatu Zat yang unik dan tidak ada yang dapat menyerupai-Nya. Karena itu dalam mentauhidkan Tuhan, aliran Mu’tazilah menentang cara-cara anthropo-morphisme, yaitu suatu paham yang membayangkan Tuhan sebagai yang mempunyai jisim sebagaimana manusia biasa, seperti bertangan, punya muka, dan sebagainya. Untuk menghindari paham ini, mu’tazilah melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran yang zanni seperti yadullah (tangan Allah), kalamullah (perkataan Allah) dan sebagainya itu dengan cara metaphora atau kiasan. Tangan Allah mereka artikan kekuasaan Allah, sedangkan wajah Allah mereka artikan keridhaan-Nya dan seterusnya.

Selanjutnya Mu’tazilah menolak paham beatific vision, yaitu paham yang menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di Akhirat nanti. Mu’tazilah tidak menerima paham ini, karena menurutnya Tuhan bersifat immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi yang immateri hanya dapat dilihat oleh immateri pula.  Oleh karena itu Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan hanya dapat dilihat dengan mata hati.

Mu’tazilah juga berpendapat bahwa zat Allah bersifat qadim, paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Allah dalam arti mempunyai wujud tersendiri dan terpisah dari zat-Nya. Apa yang golongan lain menyebutkan bahwa sifat Tuhan seperti Maha Mengetahui oleh golongan Mu’tazilah disebut sebagai essensi Tuhan. Dengan demikian paham tersebut tidak membawa kepada timbulnya paham qadim, karena banyak paham qadim itu membawa ke syirik.

Paham ke-Esa-an Tuhan yang dikemukakan kaum mutazilah dimaksudkan untuk memurnikan zat Tuhan dari persamaan makhluk-Nya. Dalam paham ini terlihat betapa kuatnya pengaruh akal dalam pikiran yang dibangunnya itu. Dan ini dapat dijadikan satu indikasi bahwa aliran Mu’tazilah pantas disebut sebagai rasional.

 

  1. 2.    Al- ‘Adl

Paham keadilan yang dikehendaki oleh Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan qudrat yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu, Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendaki-Nya, Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintah-Nya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya.

Selanjutnya masalah keadilan Tuhan ini mendorong timbulnya masalah perbuatan manusia yakni apakah perbuatan manusia itu diwujudkan oleh Tuhan atau manusia sendiri? Bagi kaum jabariah sebagaimana diuraikan di atas, bahwa perbuatan manusia itu diwujudkan oleh Tuhan. Sedangkan bagi kaum Mu’tazilah bahwa perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Karena itu tidaklah adil jika Tuhan menyiksa manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah oleh Tuhan. Tuhan baru dapat disebut adil jikamenghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.

  1. 3.    Al- Wa’ad wa al-Wa’id

Ajaran ini sebagai lanjutan dari ajaran keadilan sebagaimana telah disebutkan di atas. Aliran mu’tazilah yakin bahwa janji Tuhan berupa pemberian pahala dan ancaman kepada manusia, pasti terjadi dan tidak bisa tidak. Barangsiapa yang melakukan kebaikan maka ia berhak mendapatkan pahala, sebaliknya bagi orang yang melakukan keburukan, maka akan mendapatkan siksa dan ini pasti terjadi. Dalam hal ini Tuhan tidak dapat berbuatlain kecuali melaksanakan janji-Nya itu. Tuhan tidak bisa memasukkan orang jahat ke dalam surga dan tidak dapat pula memasukkan orang baik ke dalam neraka.

Sebagai realisai dari pelaksanaan janji-Nya itu, Mu’tazilah berpendapat bahwa pengampunan bagi orang yang berbuat dosa besar tanpa taubat tidak ada, sebagaimana juga tidak mungkin orang yang berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Dalam ajarannya ini Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat disebut adil, jika Iatidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk.

Dalam paham keadilannya tersebut nampak terlihat betapa besarnya peranan manusia dan akal menurut kaum Mu’tazilah, dalam memecahkan masalah, sehinggaada kesan seolah-olah manusia dan akal-lah yang mengatur kekuasaan Tuhan. Tuhan sepertinya harus mengikuti kemauan manusia. Hal ini dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah karena Tuhan sendiri sebagaimana dalam beberapa ayat al-Qur’an sering menyatakan bahwa Ia tidak akan menyalahi janji-Nya. Paham ini dibangun oleh kaum Mu’tazilah untuk mensucikan perbuaan Tuhan dari tindakan atau perbuatan yang tidak sepantasnya terjadi pada-Nya. Menyalahi janji misalnya tidaklah pantas terjadi pada Tuhan, sebab kalau hal itu terjadi berarti Tuhan ternoda oleh perbuatan-Nya sendiri. Jadi, dibalik argumen-argumen rasionalnya terkandung maksud baik dari kaum Mu’tazilah.

  1. 4.    Al-Manzilah baina al-Manzilatain

Al-Manzilah baina al-Manzilatain secara harfiah berarti posisi di antara dua posisi, dan menurut mu’tazilah bahwa yang dinamakan dengan ungkapan itu adalah suatu tempat yang terletak di antara surga dan neraka. Ajaran ini dinilai sangat penting, karena dengan ajaran ini, Wasil bin Atha’ rela memisahkan diri dari Hasan Al-Basri sebagai gurunya. Wasil berpendirian bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, juga tidak termasuk mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq. Kefasiqan itu beada di antara iman dan kafir. Menurutnya tingkatan orang fasiq berda di bawah orang mukmin dan di atas orang kafir. Demi melaksanakan keadilan Tuhan dan janji-Nya itu, orang fasiq tidak dapat masuk surga, karena ia dianggap bukan mukmin dan tidak pula ia dimasukkan ke dalam neraka, karena ukan kafir. Untuk melaksanakan keadilan Tuhan, orang yang serupaitu harus ditempatkan di antara surga dan neraka. Tetapi karena di akhirat tidak ada tempat lain, kecuali surga dan neraka, maka orang fasiq itu harus dimasukkan ke dalam neraka, yang keadaannya berbeda dengan mereka yang diterima oleh orang kafir.

Dalam ajaran keempat itu terlihat betapa kuatnya pengaruh akal dalam membangun pemikiran-pemikirannya. Hal ini semakin menambah kejelasan bahwa Mu’tazilah memang pantas disebut sebagai kaum rasional.

  1. 5.    Amar Ma’ruf Nahi Munkar

            Amar Ma’ruf Nahi Munkar berarti perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat. Ajaran serupa ini sebenarnya bukan hanya di anut oleh kaum Mu’tazilah, tetapi juga oleh golongan lain. Perbedaannya dengan golongan lain terletak padacara pelaksanaannya. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa dalam keadaan normal pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi kalau dalam keadaan tertentu amar ma’ruf nahi munkar itu perlu dengan kekerasan. Dalam sejarah memang terbukti bahwa kaum Mu’tazilah menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran itu.

Namun di balik kekerasan yang pernah dilakukannya itu terdapat maksud baik, dan kondisi sosial memang menghendaki demikian. Dalam sejarah tercatat bahwa kaum Mu’tazilah tampil sebagai aliran yang kuat dalam mempertahankan kebenaran Islam, dan mempertahankannya dari kesesatan yang terdapat pada permualaan zaman khalifah Abbasiyah. Pada masa itu terdapat orang-orang hendak menghancurkan Islam dari dalam dengan menggunakan senjata filsafat. Untuk masalah ini, Mu’tazlah di samping menggunakan pang mengetahui emikiran filsafat, juga memakai kekerasan. Dengan demikian tindakan kekerasannya mempunyai argumentasi rasional yang kuat.

Pandangan rasional kaum mu’tazilah selanjutnya dapat dilihat pada uraian mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran dalam ilmu kalam, yaitu : tentang mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui baik dan jahat dan mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Keempat masalah ini menurut Mu’tazilah dapat diketahui oleh akal.

Mu’tazilah berpendapat, bahwa manusia dengan akalnya dapat mengetahui Tuhan, dan sebagai akibatnya manusia sudah wajib bertuhan sebelum datangnya wahyu. Dalam hal ini Mu’tazilah nampak cukup kreatif dan tidak menghendaki ada masyarakat yang tidak bertuhan, karena untuk mempercayai dan mengetahui Tuhan, manusia memiliki akal sebagai alatnya. Pendapat ini nampak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan para antropolog. Menurut hasil peneltian mereka, data-data historis menunjukkan bahwa bangsa-bangsa yang hidup di pedalaman dan tidak pernah mendapat seruan untuk beriman ternyata memiliki kepercayaan. Di antara bangsa-bangsa tersebut ada yang mengambil kepercayaan kepada kekuatan ghaib, roh dan sebagainya. Demikian pula dalam filsafat ketuhanan yang diperkenalkan oleh Ibn Tufyl, melalui karyanya Havy Ibn Yaqzan yang tinggal di dalam hutan dan dibesarkan oleh seekor rusa. Tokoh itu kemudian mengakui adanya Tuhan.

Namun sungguhpun akal dapat mengetahui adanya Tuhan, ia tetap tidak dapat menentukan jenis Tuhan yang sesunggguhnya, sehingga Tuhan yang digambarkan oleh akal itu dapat berubah-ubah. Untuk itu perlu wahyu yang menginformasikan tentang Tuhan yang seharusnya diyakini adanya. Dengan demikian wahyu tetap berfungsi selain sebagai pemberi informasi juga sebagai pemberi konformasi atau penegasan terhadap hasil temuan akal.

F.    Pandangan Aliran Mu’tazilah

            Adapun pandangan aliran Mu’tazilah yang berkenaan dengan permasalahan dasar pemikiran alirannya antara lain:

  1. Pelaku dosa besar, Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir melainkan ada diantara dua posisi yaitu kafir dan mu’min, hukumnya sebagai orang yang fasik.
  2. Tentang imamah menurut mu’tazilah hanya merupakan soal plitik saja, sehingga orang imam adalah penguasa politk bukan penguasa agama. Karena itu untuk mengetahui syarat agama melalui Al-Qur’an, al Sunnah, Ijama’dan Qiyas.
  3. Terhadap kalam Allah (Al-Qur’an) berpendapat bahwa itu bukan Qadim  atau kekal, tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan.
  4. Tentang sifat-sifat Tuhan, kaum Mu’tazilah meniadakan sifat Tuhan yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiri diluar zat Tuhan. Oleh karena itu Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan menjadi dua bagian yaitu:
  • Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan disebut sifat zatiah.
  • Sifat-siaft yang merpakan pernuatan-perbuatan Tuhan disebut sifat fi’liah.
  1. Mengingkai bahwa Tuhan itu dapat dilihat dengan mata kepala di akherat.
  2. Mengingkari pendapat adanya arah bagi Tuhan dan menakwilkan ayat-ayat yang mempunyai persamaan Tuhan dengan manusia (mutasyabihat)
  3. Mempercayai dengan ke Esaan yang mutlak dengan menolak konsepsi-konsepsi dualisme dan trinitas tentang Tuhan.

G.   Filsafat Aliran Mu’tazilah

Meski filsafat tidak menjadi tujuan utama alira mu’tazilah, melainkan sebagai alat untuk menolak serangan-serangan lawannya namun dengan adnya filsafat itu, mereka dengan serta merta memasuki fase baru dalam sejarah mereka, karena filsafat tersebut telah menimbulkan revolusi pikiran ang penting dalam kehidupan mereka. Setlah mereka mengenal persoalan-persoalannya dan memperdalamya, maka mereka mencintai filsafat karena filsafat itu sendiri, ada kelanjutannya ialah:

  1. Mereka menjunjung tinggi filosof-filosof  yunani dan menempatkannya pada tingkatan yang mendekati tingkatan nabi-nabi kemudian mempercayai kebenaran pendapat-pendapatnya, bahkan di anggapnya melengkapi ajaran-ajaran agama islam. Karena itu mereka dengan asyik mengusahakan sinkretisme (perpduan taufik) antara filsafat yunani dan agama islam.
  2. Ajaran mu’tazilahs sedikit demi sedki menjadi jauh dari tujuan mereka yang bersifat agma murni dan mulai mengesampingkan persoalan-persoalan kepercayaan dan ketuhanan. Kemudian perhatian mereka beralih pada persoalan filsafat murni,seperti soal ”gerak” (harakah), ”diam” (sukun), ”jauh”, ”aradh”, ”maujud”, ”ma’adum”, dan ”bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lain” (atom).

Juga O. Leary mengatakan bahwa filsafat yunani telah meninggalkan pengaruh yang besar terhadap dunia pikir islam. Karena itu tepatlah apabila aliran mu’tazilah dipertalikan dengan filsafat dan dianggap sebagai filosof-filosof yang pertama.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Demikianlah sekilas pembahasan tentang Aliran Mu’tazilah yang lahir dan tercatat dalam sejarah peradaban Islam. Aliran Mu’tazilah yang selalu membawa persoalan-persoalan teologi banyak memakai akal dan logika sehingga mereka dijuluki sebagai “kaum rasionalis Islam“. Penghargaan mereka yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan mereka sendiri, hal ini disebabkan keberagaman akal manusia dalam berfikir. Bahkan perbedaan tersebut telah melahirkan sub-sub sekte (aliran) mu’tazilah “baru” yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.

Walaupun gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan, namun pada saat ia mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak yang menantangnya. Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela. Dan adanya tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang terpenting bagi lenyapnya aliran ini di kemudian hari.

Dan dapat diketahui bahwa orang yang pertama membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil ibn ’Ata. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia adalah Syaikh al-Mu’tazilah wa qadil muha, yaitu kepala mu’tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H.

Aliran mu’azilah dibagi menjadi dua aliran yaitu Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Bagdad. Aliran Mu’tazilah basrah lebih dahulu munculnya dibandingkan denga aliran Mu’tazilah Bagdad.perbedaan tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan kultural dimana kota Basrah lebih dahulu didirikan dan juga lebih dahulu mengenal perpaduan ankeka ragam kebudayaan dan agama.

DAFTAR PUSTAKA

 

v  Nasution, Harun, teologi islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, cet. Ke 5, Penerbit UI Press, jakarta,  1986.

v  Bashori, Ilmu Tauhid (Ilmu Kalam), Malang , 2001.

v  Nata, Abidin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Edisi 1, cet. 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

v  Hanafi, A., Pengantar teologi islam (Ilmu Kalam). Cet. III, penerbit, Bulan Bintang, Jakarta , 1979.

http://www.google.com/wikipedia-mu’tazilah.

http://www.google.com/ensiklopedia-mu’tazilah.

 

 
2 Comments

Posted by on May 9, 2011 in Uncategorized

 

Struktur Al-Qur’an

2.1 Al-Qur‘an pada masa Abu Bakar R.A.

Setelah Rasulullah SAW wafat pemerintah dipegang oleh Abu Bakar. Pada tahun pertama kepemimpinannya muncul gejolak di daerah Yamamah disebabkan munculnya Musailamah si pendusta yang mengaku dirinya nabi terakhir. Abu Nakar segera mengambil tindakan untuk memeranginya, perangpun terjadi. Akibat dari peperangan tersebut banyak menelan korban jiwa diantaranya para qari’ dan hafidz al-Qur’an yang membuat sahabat Umar menganggap perlu untuk mengumpulkan al-Qur’an.

Dalam kitab al-Itqan, diriwayatkan dari ibnu Abi Daud dan al-Hasan bahwa Umar RA bertanya pada sebuah ayat al-Qur’an sedangkan jawabannya ada pada si fulan yang terbunuh pada perang Yamamah. Lalu Umar berkata “ inna lillah”. Dengan segera ia memerintahkan kepada para sahabat untuk mengumpulkan al-Qur’an. Dengan demikian Umar adalah orang pertama yang mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf.[1]

Bukhari memberitahukan melalui sanad Ubaid bin Sabbaq bahwa Zaid bin Tsabit berkata : “ seusai perang Yamamah aku dipanggil oleh Umar RA untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada disana”, Abu Bakar berkata : “Umar telah datang kepadaku dan mengatakan, bahwa perang di Yamamah telah menelan banyak korban di kalangan qurra’ dan hafidz al-Qur’an, dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra’ dan hafidz itu juga terjadi di tempat- tempat lain, sehingga sebagian besar al-Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku mengumpulkan al-Qur’an. Maka aku katakan kepadanya, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah? Tetapi Umar menjawab dan bersumpah “Demi Allah perbuatan tersebut baik”. Ia terus menerus membujukku sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerima usulnya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar. Zaid berkata lagi :“ Abu Bakar berkata kepadaku:” Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah oleh karena itu carilah al-Quran dan kumpulkanlah. Zaid berkata, “Demi Allah, sekiranya mereka memintaku untuk memindahkan gunung rasanya tidak lebih berat bagiku daripada mengumpulkan al-Qur’an karena itu aku menjawab lagi: “mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah?”, Abu Bakar menjawab: “Demi Allah itu perbuatan yang baik”. maka akupun mulai mencari al- Qur’an. Kukumpulkan al-Qur’an dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu, dan dari hafalan para penghafal al-Qur’an, sampai akhirnya aku pendapatkan akhir surah at-Taubah yang hanya ada ditangan Abu Khuzaimah al-Anshari saja”.

Riwayat ini jelaslah, bahwa Abu Bakar takut bertindak apa yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, karena sangat taatnya ia kepada Nabi. Kemudian Umar RA beraijtihad dengan katanya: “Demi Allah ini suatu kebaikan”. (maksudnya untuk kemaslahatan umat, mengingat bahwa al-Qur’an sebagai dasar ajaran-ajaran agama islam).

Demikian juga Zaid bin Tsabit. Ia tidak mau bertindak gegabah dengan apa yang belum pernah Rasulullah karena takut dikatakan berbuat bid’ah terhadap masalah agama. Sedangkan dalam menyelenggarakan tugasnya dibantu oleh beberapa anggota lain, semua penghafal Al-Quran, yaitu Ubay ibn Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Mereka berulang kali mengadakan pertemuan dan mereka mengumpulkan tulisan-tulisan yang mereka tulis di masa Nabi SAW.

Kita sudah mengetahui bahwasanya al-Qur’an sudah tercatat sebelum masa Abu Bakar, yaitu pada masa Nabi. Tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, pelepah kurma, dan tulang-tulang. Kemudian Abu Bakar menyuruh untuk mengumpulkan catatan-catatan tersebut dalam satu mushaf. Dengan demikian, Abu Bakar adalah orang pertama yangmengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf, disamping juga terdapat mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat, seperti mushaf Ali, mushaf Ubay, dan mushaf Abdullah bin Mas’ud. Namun mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan penuh ketelitian dan kecermatan seperti mushaf yang dihimpun Abu Bakar.

Maka dengan Usaha badan ini terkumpullah al-Quran di dalam shuhuf dari lembar-lembar kertas. Selain itu, ada juga riwayat yang menerangkan, bahwa badan tersebut menulis al-Quran dalam shuhuf-shuhuf yang terdiri dari kulit dan pelepah kurma. Inilah pengumpulan kedua setelah masa Rasulullah.

2.2 Al-Quran pada masa ‘Umar R.A.

            Setelah Abu Bakar wafat, shuhuf-shuhuf itu dipegang oleh Umar. Menurut suatu riwayat Umar menyuruh menyalin al-Quran dari shuhuf-shuhuf itu pda suatu sahifah (lembaran).[2]

Sesudah Umar wafat shuhuf atau sahifah itu disimpan oleh anak beliau Hafshah. Nyata dari berbagai riwayat, bahwa Zaid ibn Tsabit menyempurnakan pentadwinan shuhuf di masa Abu Bakar sendiri. Dan ada pula dari berbagai riwayat, bahwa bahwa yang menyimpan shuhuf itu adalah khalifah. Mulanya Abu Bakar, sesudah itu ‘Umar dan sesudahnya yaitu Hafsah. Adapun sebabnya disimpan oleh Hafsah, tidak oleh Utsman sebagai khalifah setelah wafatnya Umar, adalah karena :

a)      Hafsah itu istri Rasulullah dan anak Khalifah Umar.

b)      Hafsah it seorang yang pandai menulis dan pandai membaca.

Adapun sebab Abu Bakar dan Umar tidak menyuruh menyalin banyak, adalah karena shuhuf-shuhuf yang telah di surat itu dimaksudkan originil saja, bukan untuk dipergunakan oleh orang-orang yang hendak menghafal. Para sahabat yang telah belajar al-Quran pada masa Nabi, masih hidup dan para pelajar al-Quran yang mengajar secara hafalanpun masih banyak.

 2.3 Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan.

Pada masa Usman terjadi perbedaan bacaan pada para sahabat dalam membaca sebagian ayat al-Qur’an dengan lafal-lafal (logat) yang berlainan, sungguhpun memiliki makna yang sama, seperti أنهل = اخّر  = Tundalah, أسرع = عجّي = Bersegeralah.

Menurut mereka, perbedaan bacaan ini tidaklah mengubah makna al-Qur’an. Karena itu, berbagai bacaan mereka diakui oleh Rasulullah SAW. Walaupun ada perbedaan dalam lafal-lafalnya. Setelah beliau wafat, perbedaan ini semakin meruncing yakni pada zaman Abu Bakar RA. Lebih parah lagi pada zaman Usman RA, sampai-sampai terjadi percekcokan yang terjadi pada murid dan gurunya.

Situasi yang terus begini jelas akan berakibat buruk bagi perkembangan al-Qur’an. Hal ini dirasakan oleh salah seorang sahabat, Hudzaifah bin al-Yaman.[3] Ia merasa gelisah melihat perselisihan kaum Muslimin di Armenia da Azribijan tetang bacaan Al-Quran. Maka berkatalah ia kepada Khalifah Usman: “Wahai amirulmukminin, selamatkanlah Ummat ini sebelum mereka berselisih dalam Al-Quran seperti yang terjadi pada bangsa Yahudi dan Nasrani.” Usman RA segera meminta mushaf yang disimpan di rumah Hafshah, kemudian ia perintahkan Zaid bin Tsabit, Sa’id bin al-Ash, dan Abdurrahman bin Harits, untuk menyalinnya dalam beberapa mushaf. Kepada tiga orang dari Quraisy tersebut, Usman RA berkata: Jka kamu berselisih dengan Zaid bin Tsabit mengenai qiraat, tulislah dengan bahasa Quraisy, karena al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka.[4]

Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi empat mushaf, tiga di antaranya dikirim ke Syam, Kuffah, dan Basrah, sedangkan yang satu disimpan sendiri oleh Usman.

Dengan usahanya itu Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Quran dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang di kirimkan Usman ke berbagai daerah:

  1. Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya ada tujuh buah mushaf yang di kirim ke Makkah, Syam, Basrah, Kuffah, Yaman, Bahrain dan Madinah.
  2. Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah mushaf yang dikirim ke Irak, Syam, Mesir dan Mushaf  Khalifah (Utsman); atau dikirim ke Kuffah, Basrah, dan Mushaf Khalifah.
  3. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur.

Adapun lembaran-lembaran yang asli dikembalikan kepada Hafsah dan tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Setelah itu lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan[5], dan dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran tersebut diambil oleh Marwan bin Hakam lalu dibakar. Pengumpulan al-Quran oleh Usman ini disebut dengan pengumpulan ketiga yang dilaksanakan pada 25 H.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengumpulan al-Quran  berlangsung tiga tahap:

Pengumpulan pertama ialah pengumpulan ayat-ayat ketika diturunkan. Ayat-ayat ini dikumpulkan di atas daftar-daftar yang umum dipakai orang Arab saat itu, kemudian diajukan kepada Nabi SAW.

Pengumpulan kedua terjadi pada zaman Abu Bakar. Saat itu ayat-ayat Al-Quran dikumpulkan di antara dua loh dan ditulis di atas potongan-potongan kulit.

Pengumpulan ketiga, terjadi pada zaman Usman bin Affan, yaitu penyatuan bacaan untuk seluruh kaum Muslimin.

2.4 Tertib Ayat

            Al-Quran terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang panjang maupun yang pendek. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari Quran. Surah adalah sejumlah ayat Quran yang mempunyai permulaan dan kesudahan. Tertib atau urutan ayat-ayat al-Quran ini taufiqi, ketentuannya dari Rasulullah. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma’, di antaranya az-Zarkasyi dalam al-Burhan dan Abu Ja’far ibnu Zubair[6] dalam Munasabah-nya, di mana ia mengatakan: “tertib ayat-ayat di dalam surah-surah itu berdasarkan taufiqi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan kaum muslimin.” Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskan di tempat tersebut. Rasulullah  mengatakan kepada mereka: “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang di dalamnya begini dan begini” atau “Letakkanlah ayat ini di tempat ini.” Susunan dan penempatan ayat tersebut sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita. Usman bin Abil‘As berkata:

“Aku tengah duduk di samping Rasulullah SAW, tiba-tiba pandangan beliau menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya, Jibril telah datang kepadaku dan memrintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat ini dari surah ini, yaitu ayat:

* ¨bÎ) ©!$# ããBù’tƒ ÉAô‰yèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ǜ!$tGƒÎ)ur “ÏŒ 4†n1öà)ø9$# 4‘sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.x‹s? ÇÒÉÈ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)[7]

Usman berhenti ketika mengumpulkan Quran pada tempat setiap ayat dari sebuah surah dalam al-Quran dan sekalipun ayat itu telah di mansukh hukumnya tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat al-Quran dengan tertib seperti ini adalah taufiqy.

Ibnu Zubair berkata: “Aku mengatakan kepada Usman bahwa ayat: Dan orang-orang yg meninggal dunia di antara kamu dgn meninggalkan istri-istri..(Al-Baqarah:234) telah dimansukh oleh ayat lain tetapi mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan? Ia menjawab: ‘Kemenakanku, aku tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya.”[8]

Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah-surah tertentu. Ini menunjukkan ayat-ayat bersifat taufiqy, sebab jika tertibnya dapat diubah, tentulah ayat-ayat ini tidak akan didukung oleh hadits-hadits tersebut.

Di samping itu diterima pula bahwa Rasulullah telah membaca sejumlah surah dengan tertib ayat-ayatnya dalam salat atau dalam khutbah jum’at, seperti surah al-Baqarah, Ali bin ‘Imran dan al-Nisa’. Juga hadis shahih menyatakan bahwa Rasulullah membaca surah al-A’raf dalam salat maghrib dan dalam salat subuh hari jum’at membaca Alif lam mim. Tanzilul kitabi la raiba fihi”(al-Sajadah),dan ata’ ‘alal insani (al-Dahr); juga membaca surah Qaf pada waktu khutbah; surah jumu’ah dan surah al-Munafiqun dalam salat jum’at.

Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan Ramadhan dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan Jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.

Dengan demikian, tertib ayat-ayat al-Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi. Al-Suyuti, setelah menyebutkan hadis-hadis berkenaan dengan surah-surah tertentu mengemukakan: “Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya tauqifi. Sebab, para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.[9]

2.5 Tertib Surah

            Para ulama’ berbeda pendapat tentang tertib surah-surah al-Qur’an.

  1. Di katakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, al-Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada di tangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Usman yang tak ada seorang sahabatpun yang menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma’) atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apapun.

Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surah secara tertib di dalam shalatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah membaca beberapa surah mufassal [surah-surah pendek] dalam satu rakaat. Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, bahwa ia mengatakan tentang surah Bani Israil, Kahfi, Maryam, Taha, dan Anbiya’: “Surah-surah itu termasuk yang diturunkan di Makkah dan yang pertama-tama aku pelajari.” Kemudian ia menyebutkan surah-surah itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.

Ibnu Hisar mengatakan: “Tertib surah dan letak ayat-ayat pada tempat-tempatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan: ‘Letakkan ayat ini di tempat ini.’ Hal tersebut telah diperkuat pula oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan atau menyusun seperti ini di dalam mushaf.”[10]

  1. Dikatakan tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya:
  • Mushaf Ali disusun berdasarkan tertib Nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian Muddassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzzammi, dan seterusnya hingga akhir surah Makki dan Madani.
  • Dalam mushaf Ibn Mas’ud yang pertama ditulis adalah surah al-Baqarah, kemudian Nisa dan kemudian Ali ‘Imran.
  • Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis adalah Fatihah, Baqarah, kemudian Nisa dan kemudian Ali ‘Imran.
  1. Dikatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya tauqify dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi. Misalnya keterangan yang menunjukkan tertib As-sab’ut tiwal, al-Hawamim dan al-Mufassal pada masa hidup rasulullah. Diriwayatkan:

أنّ رسول الله صلى الله عليه و سلّم قال : اقرؤوا الزهروين : البقرة  و ال عمران

“Bahwa Rasulullah berkata: Bacalah olehmu dua surah yang bercahaya, Baqarah dan Ali ‘Imran.”[11]

Ibn Hajar mengatakan: “Tertib sebagian surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak sebagian bersifat tauqify.” Untuk mendukung pendapatnya ini ia kemukakan Hadits Huzaifah as-Saqafi:  “Rasulullah berkata kepada kami, telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb (bagian) dari Quran, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai. Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah: Bagaimana kalian membuat pembagian Quran? Mereka menjawab: Kami membagi menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, sembilan surah, sebelas surah, tiga belas surah, dan bagian Al-Mufassal dari Qaf sampai kami khatam.”[12]

Kata Ibn Hajar lebih lanjut: “Ini menunjukkan bahwa tertib surah-surah seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surah pada masa Rasulullah.” Dan katanya: “Namun mungkin juga bahwa yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain.”

Apa bila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum Quran dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Usman Quran dikumpulkan, ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada satu huruf (logat) dan umat pun menyepakatinya. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang teguh pada mushafnya masing-masing.

Sementara itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surah itu tertibnya tauqify dan sebagian lainnya bersifat ijtihad, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nas-nas yang menunjukkan tertib tauqify. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqify dengan dalil-dalilnya yang berarti bahwa yang selain itu adalah hasil ijtihad. Di samping itu, yang bersifat demikian pun hanya sedikit sekali.

            Al-Kirmani dalam al-Burhan mengatakan: “Tertib surah seperti kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada  Lauh Mahfudz, Al-Quran sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan di hadapan Jibril setiap tahun apa yang dikumpulkannya dari Jibril itu. Nabi membacakan di hadapan Jibril menurut tertib ini pada tahun kewafatannya sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun ialah:

(#qà)¨?$#ur $YBöqtƒ šcqãèy_öè? ÏmŠÏù ’n<Î) «!$# ( §NèO 4†¯ûuqè? ‘@ä. <§øÿtR $¨B ôMt6|¡Ÿ2 öNèdur Ÿw tbqãKn=ôàムÇËÑÊÈ

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi Balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”(al-Baqarah[2]:281). Lalu Jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini di antara ayat Riba’ dan ayat tentang Utang piutang.[13]

2.6 Surah-surah dan Ayat-ayat Al-Quran

Surah-surah al-Qur’an itu ada empat bagian: 1) at-Tiwal, 2) al-Mi’un, 3) al-Masani, 4) al-Mufassal. Berikut ini kita kemukakan secara singkat pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu:

1)      at-Tiwal

Ada tujuh surah, yaitu al-Baqarah, Ali ‘Imran, Nisa’, al-Maidah, al-An’am, al-A’raf dan yang  ketujuh – ada yang mengatakan – al-Anfal dan al-Baraah sekaligus karena tidak dipisah dengan basmalah di antara keduanya. Dan dikatakan pula bahwa yang ketujuh adalah surah Yunus.

2)      Al-Mi’un

Yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebh dari seratus atau sekitar itu.

3)      Al-Masani

Yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah al-Mi’un. Dinamakan al-Masani, karena surah itu di diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari at-Tiwal dan al-Mi’un.

4)      al-Mufassal

Dikatakan bahwa surah-surah ini dimulai dari Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari Hujurat, juga ada mengatakan dimulai dari surah yang lain. Dikatakan Mufassal, karena banyaknya fasl (pemisah) di antara surah-surah tersebut dengan Basmalah. Mufassal dibagi menjadi tiga: Mufassal Tiwal dimulai dari surah Qaf atau Hujurat sampai dengan Amma atau Buruj. Mufassal Ausat dimulai dari surah Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam Yakun sampai dengan surah Quran terakhir.

Jumlah surah Quran ada 114 surah. Dan dikatakan pula ada 113 surah, karena surah Anfal dan Bara’ah dianggap satu surah. Adapun jumlah ayatnya sebanyak 6.200 lebih namun “kelebihan” ini masih diperselisihkan. Seperti pendapat bahwa jumlah surah al-Qur’an ada 6.326.[14] Dan tampak banyak perbedaan dalam kelebihan perhitungan ayatnya,  ada yang menetapkan 6.204 ayat, 6.214 ayat, 6.217 ayat, 6.220 ayat, dan juga 6.326 ayat.[15] Adapun ayat terpanjang adalah ayat tentang Utang piutang, sedang surah terpanjang adalah surah al-Baqarah. Pembagian seperti ini dapat mempermudah orang menghafalnya, mendorong mereka untuk mengkaji dan mengingatkan pembaca surah bahwa ia telah mengambil bagian yang cukup dan jumlah yang memadai dari pokok-pokok agama dan hukum syari’at.

2.7 Mushaf sesudah Utsman

            Dari naskah-naskah yang dikirim Utsman itu, umat Islam menyalin al-Quran untuk mereka masing-masing dengan sangat hati-hati, hemat dan cermat. Abdul Aziz ibn Marwan gubernur Mesir, setelah menulis mushafnya, menyuruh orang memeriksa seraya berkata: “Barang siapa dapat menunjukkan suatu kesalahan dalam salinan ini, diberikan kepadanya seekor kuda dan 30 dinar”. Diantara yang memeriksa itu ada seorang Qari’ yang dapat menunjukkan suatu kesalahan, yaitu perkataan naj’ah padahal na’jah.

Maka dengan tersebarnya mushaf itu, bersungguh-sungguh umat Islam menghafal al-Quran, mentajwidkan hafalannya dan menyalin mushaf-mushafnya.

Ada riwayat menerangkan bahwa bilangan mushaf yang diangkat atas ujung lembing dalam peperangan Ali dengan Mu’wiyyah ada 300 buah banyaknya. Ini membuktikan bahwa penyalinan mushaf sangat pesat dilakukan. Maka dengan berangsur-angsur lenyaplah mushaf yang ditulis para sahabat dan tinggallah dalam tangan masyarakat mushaf yang ditulis oleh ‘Usman yang dinamai dengan Mushaf Al-Imam (Mushaf Utsmani).[16]

2.8 Permulaan Al-Quran dicetak

            Al-Quran pertama kali dicetak di Hamburg (Jerman) pada akhir abad ke-17 Masehi, yakni pada tahun 1694 Masehi, di awal abad yang ke-12 dari hijrah.[17]


[1] Yang dimaksud mushaf ialah potongan-potongan kulit yang telah disamak

[2] Riwayat ini dibantah oleh sebagian ahli ilmu

[3] Ia sahabat Nabi; Pernah memimpin pasukan untuk membuka kota Hamadan, Ar-Ray, dan kota Dainur; wafat tahun 36 H

[4] Riwayat ini memperkuat makna Al-Hurufus sab’ah (tujuh huruf) di mana perbedaan itu terletak pada bacaan kalimat dengan lafal-lafal yang berbeda, tapi mengandung satu makna.

[5] Tafsir Tabrani, Jilid I, Hal. 61

[6]Ia adalah Ahmad bin Ibrahim ibnu Zubair al Andalus, salah seorang ahli nahwu dan hafidz. Wafat 807 H

[7] Hadits riwayat Ahmad dengan isnad hasan

[8] Hadits riwayat Bukhari.

[9] Lihat al-Itqan, jilid II, Hal. 61

[10] Lihat al-Itqan, jilid I, Hal. 62

[11] Hadits riwayat Muslim.

[12] Hadits riwayat Ahmad dan Abu Daud. Lihat pula al-Itqan jilid I, hal. 63

[13] Lihat al-Itqan, Jilid I, Hal. 62

[14]Lihat “sejarah dan pengantar ilmu Quran & tafsir” Dr. Hasbi ash Shiddiqiy. Bab II, hal. 57.

[15] Lihat Fahd bin ‘Abdirrahman al-Rumi, op. Cit., 153-154; bandingkan dengan Ibrahim al-Ayariy, op. Cit., 46.

[16] Lihat “sejarah dan pengantar ilmu Quran & tafsir” Dr. Hasbi ash Shiddiqiy. Bab III, hal. 91.

[17] Lihat “sejarah dan pengantar ilmu Quran & tafsir” Dr. Hasbi ash Shiddiqiy. Bab III, hal. 91.

 
Leave a comment

Posted by on May 9, 2011 in Uncategorized

 

Terminal Landungsari

PROBLEMATIKA PENERAPAN HAM DAN DEMOKRASI DI TERMINAL LANDUNSARI MALANG

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah yang telah memberikan limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan laporan yang berjudul “PROBLEMATIKA PENERAPAN HAM dan DEMOKRASI di TERMINAL LANDUNGSARI MALANG”. Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan dosen pembimbing Dra.Jundiani, S.H., M.Hum

Kami  menyadari bahwa dengan dukungan, bantuan dan kerja sama dari berbagai pihaklah kami dapat menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Dra. Jundiani, S.H., M.Hum selaku dosen pembimbing mata kuliah Pendidkan Kewarganegaraan.
  1. Semua rekan-rekan penulis dan semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan laporan ini.

Kami  menyadari bahwa laporan ini masih sangat jauh dari sempurna.  Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan.  Semoga laporan ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.

Malang,  16  Desember 2010

Penulis


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terminal merupakan tempat pemberhentian angkotan umum baik angkotan kota maupun antar kota. Dapat juga disebut dengan tempat untuk bertemunya calon penumpang dengan angkotan yang mengantarkannya ke tempat yang dituju. Macam-macam angkotan umum antara lain bus dan mobil. Biasanya, bus digunakan untuk mengangkut penumpang dengan tujuan jarak jauh. Sedangkan mobil hanya pada daerah-daerah kota dan desa yang terdapat di satu daerah.

Masyarakat cenderung memilih angkotan kota maupun antar kota sebagai sarana transportasi ke daerah yang dituju, karena lebih murah dan lebih cepat daripada kereta ataupun pesawat. Terminal menyediakan fasilitas transportasi yang dapat memudahkan seseorang untuk berpergian.

Namun, keberadaan terminal sebagai sarana memudahkan transportasi tidak menjamin keamanan seseorang, dikarenakan suasana yang terbentuk begitu ramai. Sehingga dapat menimbulkan tindakan kriminalitas seperti yang terjadi di masyarakat kini, misalnya pencopetan, penodongan, penipuan terlebih lagi dapat menimbulkan pembunuhan.  Hal-hal tersebut dapat digolongkan sebagai  pelanggaran penerapan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di terminal. Saat ini, banyak sekali kasus-kasus mengenai Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di terminal yang tidak terungkap. Akhirnya menjadikan pelaku tidak jera untuk melakukan perbuatan-perbuatan negatif terkait masalah hak-hak orang lain.

Maka dari itu laporan ini dimaksudkan untuk membuat inventarisasi dengan mengumpulkan bahan menjadi satu tulisan yang utuh, dengan sorotan khusus pada masalah Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di terminal.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

  1. Apa saja pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Demokrasi yang terjadi di terminal Landungsari Malang
  1. Bagaimana cara penanggulangan atau rekomendasi mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di terminal Landungsari Malang

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penyusunan laporan observasi ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui pelanggaran apa saja yang telah terjadi mengenai masalah Hak Asasi Manusia di terminal Landungsari Malang
  1. Untuk mengetahui cara penanggulangan terkait masalah pelanggaran HAM dan masalah Demokrasi yang terjadi di terminal Landungsari Malang

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Umum Terminal Landungsari

Terminal Landungsari merupakan terminal yang lokasinya berada di sisi barat Kota Malang. Berdekatan dekat dengan kampus Universitas Muhammadiyah Malang dan perbatasan kota Malang dengan kabupaten Malang sisi Barat. Letak terminal yang berdekatan dengan sejumlah kampus perguruan tinggi membuat terminal Landungsari ini ramai pada jam-jam tertentu dan akhir pekan. Terminal ini dulu berada di Dinoyo dengan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. Terminal Landungsari adalah satu dari tiga terminal besar di Kota Malang yang menghubungkan Malang dengan kota-kota besar lainnya di Jawa Timur. Tentu saja, kapasitasnya memang tidak sebesar Arjosari, namun jarak tempuh yang bisa dicapai dari terminal ini lumayan jauh. Tengok saja, saat hari sabtu datang banyak para mahasiswa atau mahasiswi yang menggunakan jasa bis yang parkir di terminal Landungsari ini untuk pulang ke kampung halamannya di sekitaran Kab. Jombang dan Kediri.

Maka tidak heran jika pada hari itu bis-bis selalu penuh oleh penumpang bahkan beberapa penumpang ada yang terpaksa berdiri hingga kota tujuan terakhir. Di terminal ini hanya tersedia bis-bis ukuran medium  yang melayani penumpang jurusan Jombang dan Kediri. Selain bis-bis jurusan tersebut tidak ada atau belum ada yang parkir di terminal Landungsari ini.

Pemberangkatan bus dari terminal ini cukup banyak, mulai pagi hingga malam hari. Jam operasionalnya dari pukul 04.00 WIB sampai dengan pukul 18.30 WIB.  Melayani rute atau trayek jurusan Malang-Jombang P.P, Malang-Tuban lewat Jombang P.P, dan Malang-Kediri P.P.    Beberapa tahun yang lalu pernah ada trayek Malang-Bojonegoro lewat Jombang, namun saat ini bus untuk trayek tersebut sudah tidak dapat kita jumpai pemberangkatannya.

Era ’90 an banyak operator  bus yang parkir di terminal Landungsari. Namun kini hanya tinggal dua operator bus. Banyak PO yang mencoba peruntungan di jalur ini,namun seleksi alamlah yang menentukan. Kini hanya dua PO saja yang masih eksis. Antara lain PO. Puspa Indah dan PO. Hasti yang selalu melayani penumpang dengan baik

2.2 Sumber dan Hasil Data

Pada hari Sabtu tanggal 11 Desember 2010, kami berangkat ke terminal Landungsari untuk melakukan observasi mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Demokrasi.  Kami berpencar untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Setelah lama berpencar kami berkumpul kembali tiga jam setelahnya. Kami mengumpulkan data-data yang kami dapatkan, diantaranya adalah hasil wawancara kami dengan Ibu Supriati , ibu penjual makanan, minuman dan gorengan disekitar terminal. Beliau bercerita tentang pengalamannya selama 14 tahun ditempat tersebut. Selama berjualan di terminal itu ibu Supriati sudah merasa nyaman karena keadaan di terminal itu sudah sesuai dengan kondisi yang dialami oleh Ibu Supriati. Penghasilan per bulannya antara 300-500 ribu. Selama berjualan disana ibu Supriati dikenai pajak oleh petugas terminal sebesar 150.000 per tahun dan distribusi sampah 1500 per hari. Dengan kondisi yang cukup memuaskan ibu itu merasa haknya sudah terpenuhi. Lain halnya dengan Bapak Supri, Penjual asongan di terminal Landungsari, selama berjualan disana, Pak Supri selalu dimintai uang oleh oknum-oknum yang tidak berhak. Padahal penghasilan Pak Supri tidak sebanding dengan tenaganya. Pak Supri mengungkapkan bahwa rata-rata penjual asongan di terminal Landungsari bernasib sama dengan Pak Supri. Melihat fakta yang terjadi seperti keterangan diatas, dapat diketahui bahwa masih banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia di terminal landungsari yang perlu diberikan perhatian khusus.

Dalam observasi tersebut kami juga mencari informasi kepada beberapa penumpang angkotan umum (LAN) dan bus yang ada di terminal Landungsari. Kami bertemu dengan seorang ibu yang bernama Susanti Widya yang berasal dari kota Malang yang hendak melakukan perjalanan menuju kota Jombang. Dalam observasi  yang telah kami lakukan, kami mendapatkan informasi dimana pelayanan yang diberikan dari pihak terminal Landungsari Malang kepada penumpang dirasakan sudah dapat memberikan kepuasan meskipun tidak seluruhnya. Hal ini dibuktikan dengan penetapan tarif  bagi penumpang yang akan melakukan perjalanan Malang-Jombang dengan penarikan tarif sebesar Rp. 14.000 yang sesuai dengan jarak perjalanan yang ditempuh. Namun ada beberapa hal yang dirasakan belum sesuai dengan keinginannya, diantaranya masalah antrean dalam pemesanan karcis bus dan perhatiannya terhadap penumpang lainnya ketika di dalam bus atau LAN. Dalam antrean pemesanan karcis, sering terjadi kecurangan antara penumpang yang satu dengan penumpang yang lain. Banyak diantara mereka yang tidak mau menunggu gilirannya  dengan baik. Mereka lebih sering menyerobot penumpang yang lain dengan sebab yang tidak jelas. Padahal sebagai Negara yang demokratis, seharusnya para penumpang harus antre  dengan baik sesuai dengan urutannya.

Selain itu sikap para perokok yang tidak mementingkan kondisi orang lain ketika berada di dalam kendaraan, terutama masalah asap rokok. Banyak diantara penumpang laki-laki maupun perempuan yang merasa terganggu dengan adanya asap rokok yang mencemari udara dalam bus atau LAN akibat sikap dari para perokok yang merokok di sembarang tempat. Mereka seakan tidak bisa menikmati perjalanan yang sedang dilakukannya, padahal mereka telah membayar tarif  bus atau LAN yang seharusnya mendapatkan kenyamanan sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan. Mereka semua mempunyai beberapa hak yang seharusnya dapat terpenuhi sebagai para penumpang. Sebagai negara  yang mengakui adanya demokrasi dan HAM, seharusnya setiap orang mengetahui apa yang seharusnya dilakukan tanpa membuat seseorang merasa terganggu dengan bersikap yang baik di dalam kendaraan umum.

Sedangkan menurut Ibu Purwono penumpang yang berasal dari Pendem mengatakan bahwa pelayanan yang diberikan dari pihak terminal kepada para penumpang juga baik.  Namun disisi lain juga terdapat beberapa keganjalan yang dirasakan Ibu Purwono. Keganjalan tersebut sangat dirasakan ketika ia sedang melakukan perjalanan dengan mengajak anaknya. Karena dia merasakan ada haknya sebagai warga Negara yang mengakui adanya demokrasi dan HAM yang masih belum terpenuhi. Diantaranya yaitu ketika naik ke bus dalam kerumunan banyak orang yang berdesakan untuk berebut mendapatkan tempat duduk yang nyaman , sorang kondektur  bus seakan membuat peraturan sendiri untuk segera masuk ke dalam bus, jika tidak segera masuk maka akan ketinggalan bus. Hal ini membuat penumpang tergopoh-gopoh untuk masuk dalam kendaraan tersebut. Selain itu dalam mengemudikan bus, sopir sering menggunakan kecepatan di atas rata-rata yang membuat penumpang merasa was-was dengan keselamatannya. Bukankah setiap penumpang mempunyai hak untuk mendapatkan dan mencari tempat duduk yang layak ketika di atas kendaraan, diantar sampai tujuan dengan keadaan selamat tanpa merasakan kekhawatiran atau rasa was-was dalam hati para penumpang.

Kami juga mewawancarai Bapak Slamet, petugas loket di terminal Landungsari. Tuturnya, bahwa haknya masih belum terpenuhi, karena masih ada sopir angkot yang kadang tidak bayar, padahal uangnya itu disetorkan kepada atasanya, dan apabila setorannya kurang resikonya petugas loket tersebut yang menggantinnya.Tetapi hak asuransinya sudah terpenuhi.

Selanjutnya, kami mewancarai sopir bus, namanya Pak Joko. Dia salah satu orang yang dapat disebut pelanggar HAM juga, mengapa disebut demikian? Pak Joko melanggar system kerja dari penarikan sewa bus dengan mensiasati  berapa jumlah penumpang yang menaiki  bus Pak joko. Sistem sewa dari bus yang disupir Pak joko adalah terhitung dari jumlah karcis yang terjual, namun Pak Joko  tidak memberikan karcis pada beberapa penumpang yang menaiki busnya seperti anak-anak sekolah. Pelanggaran HAM ini terjadi pada penumpang dan pemilik bus. Pada penumpang, hak dia untuk menerima karcis tidak diberikan karena dengan karcis tersebut penumpang mendapat asuransi dari pihak marga. Sedangkan pada pemilik bus, haknya untuk menerima uang sewa dikurangi maka pihak ini akan merasa rugi.

Masalah Demokrasi di terminal Landungsari sudah terpenuhi, seperti pernyataan dari Ibu Dewi, seorang penumpang “Alhamdulillah, kalau  masalah demokrasi di terminal manapun, Khususnya Landungsari sudah bisa saya rasakan. Buktinya saya terlibat didalamnya, hakikat dari demokrasi itu kan keterlibatan kita terhadap segala aspek pemerintah. Kalau terminal itu kan salah satu sarana yang disediakan oleh pemerintah untuk kita semua agar masyarakat bisa dengan bebas memilih kendaraan mana yang akan dinaiki.” Dari pernyataan diatas kita mengerti bahwa demokrasi di terminal sudah dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Tetapi masih belum semua masyarakat merasakannya, seperti ungkapan dari Bapak Agus. Beliau pernah dibohongi oleh sopir angkot ketika hendak menuju rumah saudaranya di Batu. Bapak Agus dipaksa untuk menaiki angkot dua kali dalam artian di oper dari angkot satu ke angkot yang lain sehingga Pak Agus dipaksa membayar angkot dua kali lipat. Dari cerita Pak Agus kami mengetahui bahwa penerapan demokrasi di terminal belum terlaksana dengan baik. Sopir angkot memanfaatkan ketidak tahuan Pak Agus  dengan mengopernya menaiki beberapa angkot yang lain secara paksa.

Dari observasi yang kami lakukan, kami menyimpulkan masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan hak-hak nya. Di terminal Landungsari masih banyak terjadi permasalahan dari lingkup Demokrasi dan HAM yang belum sesuai dengan konsep  Demokrasi dan HAM di Indonesia. Dari berbagai kasus di atas, masih banyaknya korupsi dari petugas terminal  dan banyak supir angkutan yang tidak menataati peraturan yang berlaku di terminal tersebut, serta masih banyak pula para pemalak liar (premanisme) yang berkeliaran di sekitar terminal yang tentu meresahkan bagi kebanyakan calon penumpang bis maupun LAN.

Cara penanggulangan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Demokrasi menurut Bapak Ahmadi, salah seorang petugas di terminal Landungsari adalah untuk para penumpang diberi sosialisasi agar meminta karcis kepada kondektur. Untuk petugas dikontrol dari pusat tentang pemasukan penumpang dan angkotanya serta dengan menanamkan sikap hati-hati pada diri sendiri dan meningkatkan kewaspadaan terhadap orang lain.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Terminal Landungsari adalah salah satu tempat umum yang memberikan fasilitas transportasi untuk mempermudah seseorang dalam melakukan perjalanan. Akan tetapi, banyak terjadi penyalah gunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Biasanya dimanfaatkan orang-orang untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadinya. Salah satunya dengan cara menipu, mencuri, dan lainnya yang termasuk dalam kategori pelanggaran Hak Asasi orang lain. Untuk itu masyarakat harus selalu berhati-hati ketika berada di tempat umum yang ramai.

Demokrasi di terminal Landungsari juga perlu mendapatkan sorotan khusus dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, karena masih banyak pelanggaran yang terjadi di sana. Dalam hal ini, yang berperan penting adalah masing-masing dari individu baik yang bertugas maupun masyarakat sendiri.

3.2 Saran

Melihat banyaknya kasus-kasus pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia dan Demokrasi yang terjadi di masyarakat, khususnya di kawasan terminal Landungsari Malang, kebanyakan mereka dijadikan sebagai korban-korban kriminalitas yang termasuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Hal tersebut jarang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Untuk itu seharusnya pemerintah setempat turun tangan langsung untuk melihat keadaan di lapangan. Padahal tidak perlu disuarakan pun pastinya pemerintah menyadari tugas tersebut sudah menjadi tanggung jawabnya. Kembali menyinggung Demokrasi, bahwa para oknum-oknum yang bertanggung jawab sebenarnya mereka dipilih dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Sebelum mengurusi kasus-kasus yang ada di atas, hendaknya menengok sedikit nasib-nasib orang yang dibawah yang sering kali hak-haknya tidak dipenuhi oleh pemerintah, sehingga menjadikan penerapan Demokrasi di suatu wilayah atau tempat tidak terkendali dan tidak berjalan dengan baik.

 
Leave a comment

Posted by on January 15, 2011 in Laporan

 

Human Trafficking

 

 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trafficking Human (perdagangan manusia) merupakan bentuk perbudakan moderen. Tiap tahun, ribuan wanita dan anak-anak dikirim dari satu negara ke negara lain, dan merupakan bagian dari kegiatan perdagangan manusia. Sementara tujuan utamanya adalah eksploitasi seksual, hal ini juga menjadi sumber tenaga kerja ilegal. Trafficking mewakili bentuk buruk kekerasan seksual yang tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan gender. Korban-korban dari Trafficking tersebut kebanyakan dari kaum wanita dan anak-anak yang hidup dalam kesulitan karena kemiskinan rentan terhadap kejahatan ini, yang seringkali dimotivasi oleh uang dan dalam banyak kasus melibatkan kejahatan kriminal yang terorganisir. Trafficking human merupakan salah satu bentuk serius kejahatan terorganisir dan melibatkan pelanggaran hak asasi manusia.
Makalah ini diharapkan akan berguna bagi mereka yang bekerja untuk menanggulangi perdagangan di Indonesia, juga bagi orang-orang dari seluruh dunia yang tertarik dengan isu perdagangan. Kami harap pemahaman yang lebih baik mengenai karakter perdagangan perempuan dan anak di Indonesia diharapkan dapat menciptakan langkah-langkah yang lebih efektif untuk mencegah perdagangan dan membantu orang yang selamat dari perdagangan manusia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Beberapa bentuk perdagangan wanita dan anak?
b. Siapakah pelaku perdagangan tersebut?

BAB II
TEORI PERDAGANGAN
Perdagangan (trafficking) manusia mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang. Perdagangan manusia meliputi sederetan masalah dan isu sensitif yang kompleks yang ditafsirkan berbeda oleh setiap orang, tergantung sudut pandang pribadi atau organisasinya. Kendati demikian, seperti yang dinyatakan oleh dua pakar perdagangan internasional, Wijers dan Lap-Chew, “isu definisi bukanlah suatu pertanyaan akademis. Langkah yang akan diajukan untuk mencegah dan memerangi “perdagangan” dapat berbeda-beda, tergantung dari bagaimana masalah itu didefinisikan. Isu pendefinisian ini amat penting di Indonesia karena banyak dari manifestasi perdagangan juga merupakan praktik yang diterima dalam masyarakat, sehingga mereka tidak dianggap eksploitatif, apalagi dipandang sebagai tindak perdagangan.
Di masa lalu, perdagangan dipandang sebagai pemindahan perempuan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi, dengan sejumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan hanya memfokuskan pada aspek ini. Namun kemudian perdagangan didefinisikan sebagai perpindahan manusia (khususnya perempuan dan anak), dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan, di dalam suatu negara atau ke luar negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok pernikahan (servile marriage), sehingga memperluas definisi itu untuk mencakup lebih banyak isu dan jenis kekerasan.
Perluasan seperti ini terhadap definisi mempunyai arti bahwa kini lebih banyak bentuk eksploitasi yang dialami oleh perempuan dan anak Indonesia yang digolongkan sebagai perdagangan daripada sebelumnya. Dengan menyoroti perubahan-perubahan konseptual ini, kita akan mempunyai pengertian yang lebih baik tentang bagaimana hal ini mempengaruhi pemahaman kita tentang perdagangan di Indonesia. Kerangka konseptual baru untuk perdagangan ini melambangkan pergeseran dalam beberapa situasi seperti yang diuraikan di bawah ini. Poin-poin berikut ini didasari oleh Wijers dan Lap-Chew.
a. Dari Perekrutan Menjadi Eksploitasi
Kerangka tersebut berkembang dari mengkonseptualisasi perdagangan sebagai sekadar perekrutan menjadi juga mencakup kondisi eksploitatif yang dihadapi seseorang sebagai akibat perekrutannya.

b. Dari Pemaksaan menjadi ‘dengan atau tanpa Persetujuan’
Kerangka tersebut juga berubah dari mensyaratkan bahwa perdagangan harus melibatkan unsur penipuan, kekerasan atau pemaksaan, menjadi pengakuan bahwa seorang perempuan dapat menjadi korban perdagangan bahkan jika ia menyetujui perekrutan dan pengiriman dirinya ke tempat lain.

c. Dari Prostitusi menjadi Perburuhan yang Informal dan Tidak Diatur oleh Hukum
Pada tahun 1994 PBB mengesahkan suatu resolusi mengenai “Perdagangan Perempuan dan Anak Perempuan” yang memperluas definisi perdagangan sehingga memasukkan eksploitasi yang tidak hanya untuk tujuan prostitusi saja tetapi juga untuk semua jenis kerja paksa. Resolusi ini juga mengakui bahwa perempuan sering kali secara sadar mengijinkan dirinya dikirim ke luar negeri atau ke daerah lain, secara sah atau tidak sah, namun mereka tidak mengetahui eksploitasi yang sudah menunggu mereka. Resolusi ini menyatakan bahwa perdagangan didefinisikan sebagai “tujuan akhir dari memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi yang menekan dan eksploitatif dari segi ekonomi ataupun seksual”. Meski perdagangan untuk tujuan eksploitasi seksual memang hanya dikenal di Indonesia, diduga jumlah perempuan yang diperdagangkan untuk bentuk-bentuk perburuhan lain jauh lebih banyak. Dari hampir setengah juta warga Indonesia yang bermigrasi secara resmi untuk bekerja setiap tahunnya, 70% adalah perempuan; dan masih banyak lagi yang ditengarai bermigrasi melalui jalur-jalur tak resmi, Sebagian besar perempuan bermigrasi untuk bekerja sebagai pramuwisma; sebagian lainnya untuk bekerja di rumah makan, pabrik atau perkebunan. Dari hasil penelitian, juga data dari LSM tentang buruh migran, kami menemukan bahwa banyak dari antara perempuan ini yang menemukan diri mereka sendiri di dalam kondisi eksploitatif, penjeratan utang (debt bondage), penyitaan identifikasi, dan pembatasan gerak, yang merupakan unsure-unsur perdagangan.

d. Dari Kekerasan terhadap Perempuan menjadi Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Perubahan dalam kerangka konseptual menunjukkan pergeseran dari memandang perdagangan sebagai suatu isu yang sering dianggap sebagai isu domestik dan berada di luar yuridiksi negara, menjadi memandangnya sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang mendasar dan karena itu merupakan persoalan yang menjadi tanggung jawab negara. Perspektif hak perempuan sebagai hak asasi manusia yang terus berkembang ini terlihat paling jelas dalam Konferensi Dunia PBB mengenai Hak Asasi Manusia pada tahun 1993 dan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
e. Dari Perdagangan Perempuan menjadi Migrasi Ilegal
Pergeseran paradigma ini terutama menunjukkan perubahan dalam persepsi negara-negara penerima terhadap perdagangan sebagai suatu isu migrasi ilegal dan penyelundupan manusia. Perubahan ini mempunyai konsekuensi yang negatif. Dengan memusatkan perhatian hanya kepada status migrasi saja, kerangka yang berubah ini mengabaikan sebagian aspek penting dalam perdagangan perempuan. Pertama, ada banyak kasus perdagangan di mana perempuan masuk ke 14 negara tujuan secara sah. Persepsi ini juga tidak memperhitungkan kemungkinan perdagangan domestik. Kedua, dan mungkin yang paling penting, kerangka ini menjauhkan perhatian dari korban. Tindak kejahatan tersebut menjadi salah satu dari migrasi ilegal di mana korban adalah pelaku dan negara menjadi korban. Seperti yang akan ditunjukkan oleh bab-bab berikutnya, di Indonesia, seperti halnya di banyak negara lain, batas antara migrasi dan perdagangan mudah berubah, dengan perempuan kerap berpindah dari situasi migrasi sukarela untuk pekerjaan yang sah ke kondisi eksploitatif. Mereka yang terlibat dalam perekrutan dan pengiriman para perempuan itu, mungkin terlibat mungkin tidak dalam tahap akhir eksploitasi. Menurut beberapa laporan, orang yang direkrut mungkin akan diserahkan kepada perekrut di negara lain yang kemudian dengan sewenang-wenang menyalurkan sebagian dari mereka ke rumah bordil dan sebagian lagi ke pekerjaan yang telah dijanjikan sebelumnya oleh perekrut pertama. Memahami hubungan antara migrasi dan perdagangan ini, serta rapuhnya batas antara migrasi yang sah dan tidak sah amat penting untuk memahami perdagangan di Indonesia.

BAB III
METODOLOGI
1. Identifikasi Masalah
Tahap ini merupakan pengumpulan informasi dengan pendekatan terhadap objek-objek yang akan diteliti. kemudian menyusun sistem data dengan pendekatan dengan tiap-tiap calon narasumber.
Dari pendekatan dengan mempelajari fenomena itu muncul hipotesi dari peneliti bahwa apa sebenarnya yang terjadi dibalik perdagangan perempuan dan anak di bawah umur.
Hal-hal tersebut menimbulkan hipotesis merupakan jawaban sementara yang hendak diuji kebenarannya. Sehingga menjelaskan masalah Perdagangan memusat dan memilki tujuan yang jelas. Dari tahap hipotesis akan muncul penjelaskan variabel-variabel yang akan diuji dan pedoman memilih metode analisis data sehingga dasar untuk membuat kesimpulan penelitian tidak rancu dan saling berhubungan.
2. Penentuan Variabel
Tahap ini merupakan penentuan variabel penelitian untuk mendapat mengetahui gejala dan sumber masalah dari fenomena Perdagangan perempuan dan anak di bawah umur. Sebagai objek yang diteliti adalah para korban perdagangan itu sendiri.
3. Pengumpulan Data
Beberapa pengumpulan data dalam penelitian yakni melalui penelitian dokumen, yang datanya diperoleh dari berbagai berita tentang praktik perdagangan manusia di media massa cetak maupun elektronik, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Di samping itu juga digunakan data dari penelitian-penelitian dengan topik yang sama yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu dan putusan pengadilan tentang perdagangan manusia.
Instrumen internasional dan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan masalah perdagangan manusia juga menjadi bahan kajian dalam penelitian ini.

BAB IV
PEMBAHASAN
A. Bentuk-bentuk Perdagangan di Indonesia
Seperti di banyak negara di Asia Tenggara, perdagangan perempuan dan anak terjadi dalam berbagai bentuk di Indonesia. Seperti halnya sejumlah definisi internasional perdagangan yang mengakui lebih banyak jenis kekerasan, demikian juga di Indonesia, tumbuh pengakuan bahwa bentuk-bentuk perburuhan eksploitatif, perburuhan anak, praktik perekrutan untuk industri seks, dan perbudakan berkedok pernikahan, yang sebelumnya dapat diterima, mungkin saja sebenarnya merupakan bentuk-bentuk perdagangan manusia, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia individu yang terlibat. Pekerjaan-pekerjaan yang diketahui paling banyak dijadikan sebagai tujuan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia adalah:
 Buruh Migran
 Pembantu Rumah Tangga
 Pekerja Seks
 Perbudakan Berkedok Pernikahan dalam bentuk Pengantin Pesanan
 Pekerja Anak
Rangkuman singkat di bawah ini memperkenalkan bentuk-bentuk perdagangan yang menonjol, metode perekrutan dan manifestasi eksploitasinya.
1. Buruh Migran
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak orang, termasuk anak di bawah umur, bermigrasi tanpa sepengetahuan Departemen Tenaga Kerja, melalui jalur yang informal atau melanggar hukum, sehingga meningkatkan jumlah buruh migran perempuan dan anak secara signifikan. Perempuan dan anak cenderung bermigrasi untuk bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan berikut ini:
o Pembantu Rumah Tangga
o Pelayan Restoran
o Buruh Pabrik dan Perkebunan
o Industri Hiburan / Pekerja Seks

Buruh migran dieksploitasi sepanjang proses migrasi, mulai dari perekrutan hingga proses prakeberangkatan, selama bekerja, dan setelah kembali. Untuk mempercepat proses dan mengubah informasi penting terutama usia anak dokumen buruh sering kali dipalsukan bahkan ketika mereka bermigrasi melalui broker yang terdaftar secara sah. Hal ini membuat para migran menghadapi risiko dikenai tuduhan berbagai pelanggaran imigrasi di negara tujuan. Para migran juga berutang dalam jumlah besar kepada agen, yang biasanya berasal dari pungutan ilegal dan beban bunga yang tinggi. Gaji mereka dipotong untuk melunasi utang-utang ini, dan dalam kasus-kasus ekstrem, buruh menemukan dirinya terjebak dalam penjeratan utang, suatu situasi dari mana dirinya tidak akan pernah dapat melarikan diri.
Kondisi kerja sering kali melanggar undang-undang (UU) perburuhan setempat, di mana para buruh migran mempunyai jam kerja yang panjang, tidak diberikan cuti, dan diberi tempat tinggal dan makan dalam kondisi yang bersanitasi buruk. Buruh yang mungkin ingin pulang kampung, baik untuk alasan pribadi, karena kondisi kerjanya, atau karena takut mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, biasanya akan dipaksa untuk terus bekerja guna memberikan ganti kepada agen bagi biaya perekrutan dan transportasinya. Bukan suatu hal yang aneh bagi majikan atau agen untuk menahan paspor dan dokumen-dokumen lain untuk memastikan bahwa buruh tidak akan mencoba melarikan diri.
Banyak dari bentuk-bentuk eksploitasi ini mengakibatkan buruh migran yang direkrut atas kemauannya sendiri menjadi korban perdagangan. Namun banyak dari praktik-praktik ini yang sudah begitu lazim di Indonesia sehingga tidak lagi dianggap sebagai eksploitatif, apalagi sebagai perdagangan yang melanggar hukum. Dengan tidak mengakui bentuk-bentuk perdagangan ini, pemerintah membiarkan eksploitasi buruh migran perempuan dan anak Indonesia terus berlanjut. Perekrutan gadis di bawah umur dipandang tak terhindarkan di negara dengan jumlah pengangguran dan semipengangguran yang luar biasa besar ini.
2. Pembantu Rumah Tangga
Permintaan terbesar bagi buruh migran perempuan Indonesia adalah untuk menjadi pembantu rumah tangga yang tidak memerlukan banyak keterampilan. Pembantu rumah tangga kerap menghadapi bahaya besar karena sifat pekerjaan mereka yang bertempat di rumah pribadi dan karena itu tertutup dari sorotan masyarakat umum atau akses untuk memperoleh bantuan. Sering terdengar laporan mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikan. Ruang gerak pembantu biasanya dibatasi. Mereka dibatasi dalam hal ke mana mereka dapat pergi, dan biasanya dikurung di rumah ketika majikan mereka sedang pergi.
Pembantu rumah tangga di dalam negeri juga dapat mengalami kekerasan serupa, antara lain penyekapan ilegal, penjeratan utang dan gaji tidak dibayar, yang membuat perekrutan mereka untuk bekerja dalam kondisi yang begitu eksploitatif menjadi kasus perdagangan. Selain itu, beberapa studi melaporkan bahwa lebih dari 25% pembantu rumah tangga di Indonesia berusia di bawah 15 tahun (usia kerja minimum di Indonesia menurut hukum), sementara sejumlah studi lain menyatakan bahwa jumlah pembantu rumah tangga di bawah umur lebih dari 50%. Dalam kasus-kasus semacam itu, melanggar onvensi PBB mengenai Hak-hak Anak, yang mencakup hak untuk memperoleh pendidikan (Pasal 28), hak untuk beristirahat dan menikmati hiburan (Pasal 31), dan hak untuk memperoleh perlindungan dari eksploitasi ekonomi, khususnya jika pekerjaan yang dilakukan mengganggu pendidikan atau perkembangan anak bersangkutan (Pasal 32) dan karena itu merupakan pekerjaan yang eksploitatif. Sehingga perekrutan dan pengiriman anak untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga penuh waktu yang tinggal di rumah majikan sama dengan perdagangan manusia.
3. Pekerja Seks
Perekrutan untuk industri seks internasional tampaknya serupa dengan perekrutan untuk jenis-jenis buruh migran lainnya, dan bahkan sering kali berkedok perekrutan untuk dijadikan buruh migran. Bukti anekdotal (bukti yang berasal dari pengalaman pribadi atau observasi), juga studi mengenai buruh migran, menunjukkan bahwa banyak perempuan yang semula direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pegawai restoran atau untuk pekerjaan dalam sektor hiburan lain kemudian dipaksa untuk bekerja dalam industri seks komersial. Banyak dari perempuan-perempuan ini yang telah menyerahkan sejumlah uang kepada perekrut untuk mencarikan mereka pekerjaan di luar negeri, dan tidak menyadari sifat sebenarnya dari pekerjaan sampai mereka tiba di negara tujuan. Pelaku perdagangan memalsukan dokumen mereka dipalsukan, sehingga mereka tidak berani mengadu kepada pihak yang berwenang karena takut akan ditahan atau dideportasi. Mereka menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan kerap digunakan agar para perempuan dan gadis tidak berani melarikan diri. Korban juga dapat disekap secara paksa dan dijaga ketat, serta dibebani dengan utang yang sebenarnya tidak ada atau yang jumlahnya lebih besar dari sebenarnya, sehingga penghasilan mereka dari jasa yang diberikan secara terpaksa pun ditahan .
Sebuah manifestasi perdagangan yang belakangan ini muncul adalah perekrutan perempuan muda dari Bali dan Jawa untuk misi kebudayaan atau tari ke Jepang. Para penari diberitahu bahwa mereka akan membawakan tarian tradisional di sejumlah pusat hiburan di Jepang. Setibanya di sana, mereka dipekerjakan di karaoke dan klub yang menyajikan tarian telanjang. Mula-mula mungkin mereka akan bekerja sebagai pelayan atau teman minum bagi tamu namun pada akhirnya mereka akan disuruh memberikan layanan seks kepada tamu.
Di beberapa kabupaten di Indonesia, terutama di Jawa, berlaku subbudaya di mana keluarga yang mempunyai anak perempuan di bawah umur mengatur agar anak mereka dapat menetap di kota untuk memasuki industri seks agar ia memperoleh penghasilan lebih besar dari yang mungkin dapat ia raih. Ini sudah jelas merupakan kasus perdagangan. Sementara di daerah lain, seperti Sulawesi Utara, sejumlah perempuan dan gadis muda secara sadar menandatangani kontrak untuk bekerja sebagai penari, penari telanjang atau bahkan pekerja seks, namun mereka ditipu mengenai kondisi kerja yang harus mereka hadapi, dibebani oleh utang yang sebenarnya tidak ada atau jumlahnya lebih besar dari yang sebenarnya, disekap secara paksa, atau tidak boleh menolak bekerja, sehingga nasib mereka berujung dalam kondisi eksploitatif yang merupakan perdagangan (kunjungan lapangan proyek). Juga ada konsistensi yang cukup tinggi dari antara sejumlah laporan yang menyatakan bahwa 30% pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun. Anak umur di bawah 18 tahun yang direkrut dan dikirim ke dalam industri seks merupakan korban perdagangan, sehingga isu tentang persetujuan atau menjadi pekerja seks secara sukarela menjadi tidak relevan.
4. Pengantin Pesanan
Pernikahan paksa memiliki sejarah panjang di banyak daerah Indonesia. Ada banyak subbudaya Indonesia di mana pernikahan biasanya diatur oleh orang tua tanpa banyak pertimbangan terhadap pilihan anak mereka. Meski kini pelaksanaan praktik ini tidak sesering dahulu, praktik ini masih tetap hidup dan melanggar hak seseorang untuk menikah dengan bebas dan atas persetujuan penuh dari dirinya sendiri (Pasal 16, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Pengantin pesanan merupakan manifestasi modern dari perjodohan dan dapat menjadi kasus perdagangan ketika seorang gadis menikah atas tekanan keluarganya (khususnya bila ia berumur di bawah 18 tahun), dan berakhir dalam kondisi perbudakan atau eksploitatif.
Fenomena pengantin pesanan di Indonesia tampaknya terutama terjadi dalam masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat (meski dari Jawa Timur diberitakan telah terjadi beberapa kasus serupa), dengan para calon suami berasal dari Taiwan. Meski sebagian perempuan muda yang diperistri melalui proses ini mempunyai pernikahan yang bahagia, ada sejumlah perempuan lain melaporkan bahwa mereka bekerja seperti budak di rumah suami dan orang tua suaminya, dengan jam kerja yang panjang dan tanpa gaji dan mereka tidak diperlakukan sebagai salah satu anggota keluarga. Dalam beberapa contoh yang lebih mengenaskan, para perempuan tersebut benar-benar dipaksa oleh suami mereka untuk memasuki industri seks atau langsung dijual ke sebuah rumah bordil. Kendati tidak semua kasus pengantin pesanan berakhir menyedihkan atau melibatkan perdagangan, banyak kasus melibatkan perempuan di bawah umur, dan pemalsuan dokumen. Kebanyakan pernikahan difasilitasi oleh calo setempat dari Singkawang, Kalimantan Barat, dengan upacara pernikahan dilakukan di Indonesia. Dalam beberapa kasus, setibanya di Taiwan, kewarganegaraan pengantin langusng diubah terkadang tanpa sepengetahuannya sehingga jika ia ingin kembali ke Indonesia karena terlibat dalam kesulitan di sana, ia akan dihadang cukup banyak kesulitan.
5. Bentuk-bentuk Lain Perburuhan Anak
Ada beberapa bentuk perburuhan anak tertentu di Indonesia yang dapat digolongkan sebagai tindak perdagangan. Yang amat menonjol adalah kasus-kasus mengenai anak lelaki yang bekerja di jermal di lepas pantai Sumatra Utara. Sejumlah anak laki-laki yang masih belia direkrut dari desa dengan janji akan mendapat gaji besar jika bersedia dikontrak untuk bekerja selama tiga bulan di jermal. Namun nereka tidak diberi penjelasan mengenai kondisi kerja, dan mereka harus hidup di tempat yang jorok, serta mengalami kekerasan fisik dan seksual dari orang dewasa yang ada di jermal itu dan jam kerja yang panjang. Mereka tidak pergi bersekolah dan tidak dapat meninggalkan jermal setelah sampai di situ. Pihak LSM juga melaporkan sejumlah kasus anak yang diperdagangkan untuk dipekerjakan secara paksa sebagai pengemis atau untuk menjual narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) (kunjungan lapangan proyek). Bentukbentuk lain perburuhan anak, seperti untuk dijadikan pembantu rumah tangga dan untuk tujuan eksploitasi seks komersial akan dibahas di bagian lain, namun dipandang perlu untuk disampaikan di sini sebagai bentuk perburuhan anak yang sama relevan dan buruknya untuk digolongkan ke dalam paradigma perdagangan.

B. Pelaku Perdagangan perempuan dan anak
Manakala perdagangan manusia dibicarakan, pelaku perdagangan kerap digambarkan sebagai bagian dari organisasi kejahatan lintas batas yang terorganisasi. Meski gambaran ini mungkin saja benar dalam sebagian kasus, banyak pelaku perdagangan yang juga jelas-jelas diketahui bukan bagian dari kelompok kejahatan terorganisasi; sebagian beroperasi secara independen, sementara sebagian lagi merupakan tokoh terhormat dalam komunitas mereka. Setiap sector di mana perdagangan terjadi juga memiliki kelompok aktornya sendiri di dalamnya. Sebagaimana tidak semua perempuan dan anak yang terlibat dalam sektor-sektor ini adalah korban perdagangan, demikian juga tidak semua aktor adalah pelaku perdagangan. Namun banyak dari mereka yang menjadi pelaku perdagangan dan sebagian mungkin terlibat langsung dalam perdagangan perempuan dan anak dan bahkan tidak menyadarinya. Di bawah ini adalah uraian singkat berbagai kategori oknum dan organisasi yang terlibat dalam perdagangan perempuan dan anak di Indonesia.
1. Agen Perekrut Tenaga Kerja

Agen perekrut tenaga kerja atau perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) membayar agen/calo (perseorangan) untuk mencari 24 Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia buruh di desa-desa, mengelola penampungan, memperoleh identifikasi dan dokumen perjalanan, memberikan pelatihan dan pemeriksaan medis serta menempatkan buruh dalam pekerjaannya di negara tujuan. Baik PJTKI yang terdaftar maupun tidak terdaftar melakukan praktik yang ilegal dan eksploitatif, seperti memfasilitasi pemalsuan paspor dan KTP serta secara ilegal menyekap buruh di penampungan. Mereka menjadi pelaku perdagangan ketika mereka memaksa seorang perempuan untuk terus bekerja bahkan ketika ia hendak pulang ke tempat asalnya, ketika mereka menempatkan seorang buruh dalam pekerjaan yang berbeda dari yang sudah dijanjikan sebelumnya dan ketika mereka mengirim seorang perempuan, dengan atau tanpa sepengetahuan mereka, untuk secara paksa bekerja dalam industri seks.

2. Agen

Agen/calo mungkin saja adalah orang asing yang datang ke suatu desa, atau tetangga, teman, atau bahkan kepala desa. Agen dapat bekerja secara bersamaan untuk PJTKI yang terdaftar dan tidak terdaftar, memperoleh bayaran untuk setiap buruh yang direkrutnya. Mereka sering terlibat dalam praktik ilegal seperti pemalsuan dokumen. Seorang agen mungkin dengan sadar terlibat dalam perdagangan perempuan ketika ia membohongi orang yang direkrutnya mengenai kebenaran dari pekerjaan yang akan dilakukan atau gaji yang akan diterimanya. Sebagian agen secara sadar merekrut perempuan untuk industri seks. Di sisi lain, banyak yang mungkin membantu perdagangan perempuan untuk industri seks tanpa menyadarinya. Agen mungkin tidak mengetahui yang sebenarnya dari suatu pekerjaan ketika mereka melakukan perekrutan untuk pekerjaan itu.

3. Pemerintah

Pejabat pemerintah juga memainkan peranan dalam eksploitasi dan perdagangan migran. Keterlibatan mereka antara lain adalah memalsukan dokumen, mengabaikan pelanggaran dalam perekrutan dan ketenagakerjaan, atau memfasilitasi penyeberangan perbatasan secara ilegal. Mereka mungkin menyadari atau tidak menyadari bahwa perempuan yang perekrutan dan pengirimannya mereka fasilitasi adalah korban perdagangan.

4. Majikan

Majikan, apakah mereka terlibat atau tidak dalam perekrutan, terlibat dalam perdagangan jika mereka memaksa buruh yang direkrut untuk bekerja dalam kondisi eksploitatif. Seorang majikan terlibat dalam perdagangan jika ia tidak membayarkan gaji, secara ilegal menyekap buruh di tempat kerja, melakukan kekerasan seksual dan fisik terhadap buruh, memaksa buruh untuk terus bekerja di luar keinginan mereka, atau menahan mereka dalam penjeratan utang.

5. Pemilik dan Pengelola Rumah Bordil

Sama dengan majikan di atas, pemilik dan pengelola rumah bordil terlibat dalam perdagangan bila mereka memaksa seorang perempuan untuk bekerja di luar kemauannya, menahannya dalam penjeratan utang, menyekapnya secara ilegal, membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak di bawah 18 tahun,

6. Calo Pernikahan

Seorang calo pernikahan yang terlibat dalam sistem pengantin pesanan terlibat dalam perdagangan ketika ia mengatur pernikahan yang mengakibatkan pihak istri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif. Calo pernikahan mungkin menyadari atau tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.

7. Orang Tua dan Sanak Saudara

Orang tua dan sanak saudara lain menjadi pelaku perdagangan ketika mereka secara sadar menjual anak atau saudara mereka kepada seorang majikan apakah ke dalam industri seks atau sektor lain. Orang tua juga memperdagangkan anak mereka ketika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima anak mereka di masa depan, atau menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utang yang telah mereka buat, sehingga memaksa anak mereka masuk ke dalam penjeratan utang.

8. Suami

Suami yang menikahi dan kemudian mengirim istrinya ke sebuah tempat baru dengan tujuan untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi, terlibat dalam perdagangan.

C. Faktor-faktor yang mengakibatkan perdagangan

a. Kemiskinan
b. Tingkat pendidikan yang rendah
c. Peran perempuan dalam keluarga
d. Status dan kekuasaan
e. Peran anak dalam keluarga
f. Asal mula buruh ijon
g. Pernikahan dini
h. Kebijakan dan Undang-Undang bias gender
i. Korupsi

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Sejumlah upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menganggulangi terjadinya perdagangan perempuan dan anak secara lebih meluas, misalnya:

 Perubahan terhadap ketentuan yang berkenaan dengan perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

 Peningkatan kinerja aparat hukum untuk mendeteksi dan memproses kasus-kasus
perdagangan perempuan dan anak.

 Pemberlakuan ketentuan hukum yang memberi perlindungan khusus terhadap perempuan yang menjadi korban, yang minimal bermuatan:

a. Hak untuk mendapat perlindungan dari aparat yang berwenang, yakni atas perilaku yang mungkin akan dilakukan si pelaku yang dilaporkan oleh korban. Jaminan perlindungan semacam ini sangat penting untuk memastikan bahwa korban tersebut diperlakukan dengan simpatik dan hati-hati oleh penegak hukum, keselamatan dirinya dijamin, sehingga kesaksian yang diberikannya dipastikan akan diperoleh untuk menghukum pelaku.

b. Hak untuk mendapat bantuan medis, psikologis, hukum dan sosial, terutama untuk mengembalikan kepercayaan pada dirinya serta mengembalikannya ke keluarga atau komunitasnya semula.

c. Hak korban untuk memperoleh ganti kerugian atas kerugian yang dideritanya, baik dari pemerintah, maupun dari pelaku kejahatan yang telah menyebabkan kerugian yang luar biasa pada korban.

 Pembentukan lembaga yang berskala nasional untuk menampung kaum perempuan dan anak yang menjadi korban tindakan semacam ini. Lembaga penyantun korban semacam ini sudah sangat mendesak, mengingat viktimisasi yang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini sangat memperihatinkan. Koordinasi dengan pihak kepolisian dan Departemen Tenaga Kerja harus dilakukan, agar kepolisian segera meminta bantuan lembaga ini ketika mendapat laporan terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Lembaga ini perlu didukung setidaknya oleh pekerja sosial, psikolog, ahli hukum, dokter.

 Pelatihan para petugas penegak hukum mengenai perdagangan perempuan dan anak.

 Pendidikan publik untuk membuat masyarakat menyadari akan kemungkinan dan dampak perdagangan perampuan dan anak-anak.

 Pemberdayaan organisasi-organisasi baik pemerintah maupun masyarakat untuk lebih mempedulikan masalah semacam ini.

DAFTAR PUSTAKA

Rosenberg, Ruth. Perdagangan Perempuan dan Anak. Jakarta-Indonesia. ICMC:2003.

 
1 Comment

Posted by on January 15, 2011 in Makalah